Total Tayangan Halaman

Kamis, 04 September 2014

“Baiklah Hidup Kita dipimpin Oleh Roh: PENGUASAAN DIRI”

“Tetapi buah Roh ialah kasih, sukacita, damai sejahtera,kesabaran,kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan dan penguasaan diri” (Gal. 5:22-23)


“Esuk-esuk kuh aja gawe emosi sih pak, kitae kuh lagi puasa jeh.. aja gawe makruh kita.. gawean simpel jeh dibikin ribet. #Gustiii ampun dehh”

Ini bahasa Jawa Cirebon-an yang bisa diterjemahkan begini: “Pagi-pagi jangan buat emosi dong pak, saya ini lagi puasa, jangan buat saya makruh.. pekerjaan simpel saja kok dibuat ribet)

Ini adalah status facebook seseorang tanggal 4 Juli 2014 pukul 08.59 pagi hari. Status yang dibuat saat dia menjalankan ibadah puasa, tetapi tampaknya ia sedang jengkel terhadap rekan kerjanya atau mungkin atasannya. Menarik melihat status ini, sebab di saat ia jengkel, dia sadar dirinya sedang puasa. Bagi umat muslim, puasa –menurut seorang ulama terkenal- intinya adalah penguasaan diri. Satu bulan penuh, mereka harus menguasai diri supaya pantas merayakan kemenangan di hari raya Idul Fitri. Dan kita bisa melihat, satu bulan penuh itu dengan sangat baik, banyak sekali saudara kita yang muslim berhasil menguasai diri di bulan puasa. Kehidupan tetap sama seperti biasa, tetapi penguasaan diri membuat hasrat diri lebih terkendali.

Di dalam Kekristenan sendiri dengan jelas dituliskan bahwa PENGUASAAN DIRI adalah BUAH ROH (Gal. 5:23). Dari sini juga dapat diukur tingkat kedewasaan rohani seseorang. Makin dewasa rohani ia, makin memberi diri dipimpin Roh Kudus ia, makin mampu ia menguasai diri. Situasi-situasi tidak enak, membakar emosi, menyesakkan dan menyinggung perasaan, mejadi makanan yang disajikan kehidupan keseharian, sebab kita hidup dengan manusia lain, dan kita tak pernah bisa memilih tutur kata, sikap dan tindakan orang lain. Kata orang bijak, “kita tak bisa melarang burung membuat sarang, tetapi kita bisa tidak membiarkannya bersarang di kepala kita.” Intinya, orang lain bisa melakukan apa saja, tetapi reaksi kita, perasaan kita, tutur, sikap dan tindakan kita, kendalinya ada pada kita.

Dalam segala hal, kita harus mampu mengendalikan diri seperti nasehat Paulus kepada Timotius: “Tetapi kuasailah dirimu dalam segala hal,…” 2 Tim. 4:5. Dalam 1 Petrus 4:7b pun ditulis, “Karena itu kuasailah dirimu dan jadilah tenang, supaya kamu dapat berdoa.” Doa adalah komunikasi kita dengan Tuhan, bagaimana kita mampu melakukan kehendaknya kalau kita tidak terhubung pada Tuhan? dan bagaimana bisa kita terhubung kalau kita tidak bisa berdoa karena sedang tidak tenang dan sedang tidak mampu menguasai diri? Oleh karena itu, penguasaan diri ini tidak hanya menolong kita menjaga relasi kita dengan manusia lain tetapi juga sekaligus dengan Tuhan.

Kita tidak mengkhususkan bulan tertentu untuk berpuasa dan berlatih mengendalikan diri. Tetapi hendaklah setiap hari kita dipimpin Roh Kudus, Sang Pengajar kita menghasilkan Buah Roh penguasaan diri yang makin hari makin matang, dan makin enak untuk dinikmati semua orang. Amin

(Hendra Kadarma)

“Baiklah Hidup Kita dipimpin Oleh Roh: KELEMAHLEMBUTAN”

“Tetapi buah Roh ialah kasih, sukacita, damai sejahtera,kesabaran,kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan dan penguasaan diri” (Gal. 5:22-23)


Setiap Orang Kristen dipanggil untuk menjadi murid Yesus. Itu berarti menaladani setiap sikap, tingkah laku dan perbuatan-Nya. Pendek kata belajar pada-Nya. Apa yang harus kita pelajari dari Yesus? Ia bersabda : “Pikullah kuk yang Ku pasang dan belajarlah padaKu, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwa mu akan mendapat ketenangan.” (Matius 11 : 29) Marilah kita melihat sifat Yesus di sini yakni Lemah Lembut.

Jika dikatakan bahwa Yesus lemah lembut, itu tidak berarti bahwa Dia berhati lemah. Lemah lembut sama sekali bukan kelemahan. Dalam kenyataan, orang yang lemah lembutlah sesungguhnya memiliki wibawa yang besar. Ia akan disegani baik oleh kawan maupun lawan.

Kelemah lembutan yang sejati selalu diikuti oleh kesabaran dan penguasaan diri. Namun di sisi lain, orang yang lemah lembut sekaligus akan memiliki pula kekuatan dan keberanian yang tak tergoncangkan. Ia seperti aliran air yang tenang, tetapi dapat mengikis dan menghaluskan batu sekasar apapun.

Orang yang lemah lembut juga seperti kota di atas bukit yang tampak dari jauh, keutamaannya tidak akan dapat ditutup-tutupi. Hanya dengan kehadirannya saja ia dapat memberikan rasa sejuk, aman dan tenang bagi orang-orang di sekitarnya. Pribadi Yesus yang lemah lembut dengan mudah membuat anak – anak  tertarik kepada-Nya.

Kelemahlembutan yang tampak jelas dari luar tidak mengatakan bahwa ia hanya soal lahiriah semata. Sebenarnya ia adalah kualitas seseorang yang terpancar dari dalam dirinya. Orang dapat saja tampak lemah lembut. Menurut dirinya kelihatan lemah lembut, namun itu bukan jaminan bahwa ia memiliki kelamah lembutan. Mungkin ia dapat menipu orang – orang untuk sementara waktu, akan tetapi, hal tersebut tidak akan bertahan lama.

Sering kali sikap berpura-pura lemah lembut mencerminkan keinginan seseorang untuk diperhatikan atau suatu usaha menutupi kekurangannya. Tidak jarang pula kesulitan tertentu orang berpura-pura sabar dan tampak menguasai diri sepenuhnya. Namun, sebenarnya sikap tersebut keluar dari ketidak berdayaan untuk mengatasi persoalan tersebut. Untuk yang terakhir ini, sebenarnya orang tersebut hanya menumpuk perasaan – perasaan negatif di dalam hatinya. Suatu ketika perasaan – perasaan tersebut akan meledak atau muncul kepermukaan dengan berbagai perwujudannya. Misalnya penyakit fisik, stress berkepanjangan, insomnia, dan lain sebagainya.

Orang yang benar – benar  memiliki kebajikan kelemah lembutan akan tahu dengan pasti kapan harus bersikap tegas dan kapan memang harus mengalah. Walaupun sebagian besar hidupnya tampak dipenuhi kesabaran, ia tidak akan segan – segan untuk marah jika memang diperlukan untuk kebaikan.
Jarang orang dapat bertahan melawan kelemah- lembutan. Modal penginjilan dan kesaksian yang utama tidak pelak lagi adalah kelemahlembutan. Dan di dalam dinamika pewartaan dan pelayanan injil, kerendahan hati mutlak diperlukan. Betapa pentingnya kelemah lembutan ini, hendaknya disadari oleh kita semua, tiada hidup kristen yang sehat tanpa kehadiran mereka. Mari kita mohon agar Tuhan memberikan kita Anugerah mulia ini.

“Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi” (Matius 5:5)
(E.K.I)

“Baiklah Hidup Kita dipimpin Oleh Roh: KESETIAAN”

“Tetapi buah Roh ialah kasih, sukacita, damai sejahtera,kesabaran,kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan dan penguasaan diri.” (Gal. 5:22-23)


April 1934, pemerintah Jepang mendirikan patung Hachiko, tepat di depan stasiun Shibuya, sebagai perlambang  kesetiaan seekor anjing kepada majikannya. Bahkan setiap tanggal 8  April, rakyat Jepang memperingati Hari Hachiko, hari dimana manusia bisa diingatkan tentang kesetiaan yang dicontohkan Hachiko.

Hachiko yang sempat difilmkan memang berhasil menggambarkan kesetiaan yang sesungguhnya. Dengan sangat menyentuh, anjing ini senantiasa menanti tuannya pulang kerja di stasiun itu, padahal Sang Tuan telah tiada. Dia menahan panas, dingin, hujan dan bahkan angin kencang.
Dalam Alkitab sendiri kesetiaan adalah buah Roh yang banyak mendapat sorotan. Setia: "pistos" setidaknya memiliki 3 makna:
1. Dapat dipercaya
2. Taat; menjalankan amanat
3. Orang yang percaya, pengikut, penganut

Artinya, seorang yang setia pada Tuhan itu mencakup ketiga hal ini.
Orang yang percaya pada Kristus, dituntun oleh Roh Kudus di dalam hidupnya. Dia mengikuti kata Roh, menganut nilai yang diajarkan Kristus, taat pada firman yang didengar, dibaca, direnungkan, dan ia adalah anak Tuhan yang dapat dipercaya, baik oleh Allah sendiri juga oleh sesamanya manusia (pasangan, teman, rekan, dan oleh orang di sekitarnya.) Tetapi bagaimanakah ini bisa kita hasilkan di tengah dunia yang begitu melimpah godaan untuk tidak setia pada Tuhan? Sebab tanpa usaha yang sangat keras dari iblis pun, dengan mudah kita jatuh memenangkan keinginan daging kita.

Mata kita melihat, hati kita lalu condong mengikuti keinginan daging, lalu dengan tidak sadar dan bahkan sedihnya, seringkali dengan sadar, kita memberi tubuh kita, pikiran kita, hati kita, memuaskan hasrat diri yang bertolak belakang dengan keinginan Roh Kudus. Perjuangan seumur hidup melawan hasrat diri mengikuti Roh Kudus sebagai pandu hidup kita yang fana ini. Akankah kita terus berjuang atau mudah menyerah ?

Lagi-lagi ini bukan perkara kita tak sanggup, tapi sangat tergantung pada kemauan kita untuk dipimpin Tuhan sampai akhir hidup kita yang singkat ini. Wahyu 2:10 b mengingatkan kita: "hendaklah kamu setia sampai mati, dan Aku akan mengaruniakan kepadamu mahkota kehidupan."
Ya! Tuhan ingin kita setia sampai mati.

Kembali ke Hachiko. Ia sangat setia pada tuannya tentulah karena ia merasakan betul kasih tuannya. Dia menghargai setiap belaian dan semua bentuk kasih dari tuannya. Tuannya telah memenuhi seluruh ruang hati dan pikiran Hachiko. Ya seluruhnya, sehingga hidupnyapun hanya untuk tuannya.
Kita lebih dari Hachiko. Kita punya akal, kita punya hati, kita punya jiwa dan kita punya Roh. Maka sangat mungkin kita ini setia pada Tuhan sampai mati tentu dengan pertolongan dan pimpinan Roh Kudus yang sudah ada di dalam hati kita. Amin.

 “Jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh.” (Gal. 5:25)

(Tina Siregar)

“Baiklah Hidup Kita dipimpin Oleh Roh: KEMURAHAN dan KEBAIKAN”

“Tetapi buah Roh ialah kasih, sukacita, damai sejahtera,kesabaran,kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan dan penguasaan diri.” (Gal. 5:22-23)


Siapakah sosok yang terkenal sebagai orang yang murah hati di dalam injil? Ya, laki-laki itu. Laki-laki yang sedang dalam perjalanan dan menolong seorang yang terluka, yang babak belur setelah dirampok habis-habisan oleh para penjahat. LAI memberi judul perikop ini: "Orang Samaria yang Murah Hati" (lihat Lukas 10:25-37). Pantaslah kalo laki-laki ini disebut murah hati.

  1. Ia tak mengenal yang ditolongnya ini.
  2. Ia tidak ambil kalkulator terlebih dahulu untuk berhitung akan kerugian yang akan dialaminya kalau menolong orang ini. 

Dengan penuh belas kasihan dia membalut luka-luka orang itu dan menaikkan ke kendaraan miliknya, membawa ke penginapan dan merawatnya.  Keesokan harinya ia memberi uang 2 dinar kepada pemilik penginapan dan berpesan supaya merawat orang itu. Ia juga berjanji akan kembali dan membayar semua kekurangannya (kalau 2 dinar itu kurang). Artinya ia menolong sampai tuntas dan tidak merugikan si pemilik penginapan itu.

Yesus dalam pertanyaan retorika nya mengajak pendengarnya berpikir, bahwa orang yang murah hati itulah yang layak di sebut sesama manusia.

Kemurahan hati dan kebaikan bagaikan dua anak kembar, dimana keduanya hanya dapat lahir dari hati yang tulus, penuh kasih, dan tidak hitung untung-rugi. Buah Roh ini makin jarang kita temui sebab relasi kita saat ini banyak diwarnai dengan nilai transaksional. "kamu pernah menolong aku, oke, suatu saat aku akan menolong kamu. Dan sebaliknya." Jangankan pada orang yang tak dikenal, pada sahabat, handai taulan saja kita berhitung.

Coba perhatikan ketika kita pergi ke pesta pernikahan tertentu. Penerima tamu dengan cekatan memberi nomor pada amplop-amplop yang datang. Tak cukup kita hanya mencatat nama kita ke daftar tamu, lalu memasukkan tanda kasih yang sudah kita siapkan ke kotak yang tersedia. "Harus diberi nomor bu" begitu kalimat penerima tamu saat saya, suatu saat langsung mengarahkan amplop saya ke kotak. Alasan beberapa orang adalah: "Biar tahu untuk mengembalikan kelak kalau sang tamu hajatan". Entah kenapa, saya dan suami kurang sreg dengan hal ini. Bukan karena jumlah isi amplop kami sedikit (rasanya sih kami tidak pelit-pelit amat dalam mengisi amplop undangan.hehehe), tapi karena rasanya kok orang memberi atau menerima kok lebih dinilai secara ekonomi daripada ketulusan di dalam memberi. Ah, tapi semoga dugaan saya dan suami salah ya. :)

Semoga kita ingat, bahwa buah roh yang satu ini mengajar kita untuk tidak hitung untung rugi dalam memberi. Dan kita mau dibimbing Roh kudus, penuh kemurahan dan kebaikan hati selama hidup kita. Amin.

 “Jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh.” (Gal. 5:25)

(Darmawasih Manullang)

“Baiklah Hidup Kita dipimpin Oleh Roh: KESABARAN”

“Tetapi buah Roh ialah kasih,sukacita, damai sejahtera, kesabaran,kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan dan penguasaan diri.” (Gal. 5:22-23)5:22-23)


Pernahkah meminta kepada Tuhan supaya diberi kesabaran? Sudahkahmendapatkannya? Dalam pekan doa pantekosta yang lalu, di dalam kelompok-kelompok diskusinya sangat seru, sebab ternyata jumlah usia seseorang tidaklah serta merta menunjukkan tingkat kesabaran seseorang. Banyak yang ingin menjadi orang yang sabar, tetapi mengapa sedikit yang memilikinya? 

Kesabaran dalam bahasa Yunani diterjemahkan dari dua kata: 
1).‘Makrothumia’: tahan terhadap penderitaan yang diakibatkan oleh sesama, sabar dalam menanggung perlawanan dan luka dari orang lain; lambat membalas atau menghukum. Kesabaran ini dimiliki oleh seseorang yang dewasa secara rohani, yang mampu menahan diri menerima perlakuan buruk dari seseorang. Paulus menasehatkan dalam surat Kolose: “Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian.” (Kol. 3:13)
2). ‘Hupomone’: tidak menyerah kepada keadaan atau kalah oleh penderitaan, sebab ia memiliki pengharapan keadaan akan menjadi lebih baik. Uniknya, dalam 1 Kor. 13:7, kasih dikaitkan dengan: “Sabar menganggung segala sesuatu.”
Melihat dua kata yunani ini, maka kini kita dapat memahami dengan jelas penggalan puisi berjudul: “Aku Meminta” berikut ini,
Aku minta Tuhan untuk memberiku kesabaran. 
Tuhan menjawab, “Tidak. Kesabaran adalah hasil dari kesulitan. 
Itu tidak dihadiahkan, itu dipelajari.”

Pantas saja, semakin kita fokus untuk semakin sabar, rasanya kok semakin banyak yang membuat kita tidak sabar, marah-marah, terluka, dan panas hati.

Tetapi berita sukacitanya adalah di dalam mempelajari kesabaran ini, mengatasi berbagai kesulitan (sebagai cara supaya sabar) kita dibimbing langsung oleh Maha Guru yaitu Roh Kudus. Betapa bersyukurnya kita, sebab setiap kita memiliki Roh Kudus yang tinggal di dalam diri kita dan selalu mengajari kita senantiasa. Hmm, kalau begitu sebenarnya masalah sabar ini hanya masalah kita mau diajari Roh kudus atau tidak ya. Kalau kita mau dibentuk oleh Tuhan, kita pasti bisa!
Selamat belajar dalam bimbingan Roh Kudus. Tuhan memberkati!

----------------------------------------------

“Jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh.” (Gal. 5:25)

 (Gideon Edie Purnomo)

“Baiklah Hidup Kita dipimpin Oleh Roh: Damai Sejahtera”

“Tetapi buah Roh ialah kasih, sukacita, damai sejahtera,kesabaran,kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan dan penguasaan diri.” (Gal. 5:22-23)


Kalau jemaat satu-satu di tanya, apakah senang dengan situasi damai sejahtera? Saya yakin, jawaban kita akan seragam: “Iya lah,  pasti!” “Tentu saja.” “Oooh..iya, kalau damai rasanya hidup jadi nikmat.”

 Bahkan kalau hal yang sama ditanya kepada tiap orang pun, jawabannya pasti senada dengan kita. Orang menyukai kehidupan yang damai sejahtera. Hal ini terlihat dari salam-salam yang ada di setiap kelompok: “Shalom aleikhem” (Ibrani), Assala ‘mualaikum (Arab), “Santi” (Bali), “Sancay” (Buddha) dan lain sebagainya. Tetapi kalau semua menyukai kedamaian, kenapa damai itu begitu mudah sirna? Dalam hal kecil saja, di keseharian kita, betapa seringnya damai di hati menguap, bak embun yang pagi menyejukkan, siang tak berbekas. Damai sirna lalu berganti dengan panas hati dan kemarahan, kedengkian, perselisihan, keinginan melukai yang lain, bahkan menghancurkannya. Betapa mengerikan saat damai sejahtera itu hilang dari hati kita. Manusia menjadi musuh bagi sesamanya.

Di Alkitab sendiri, damai sejahtera ini sangat banyak dibahas. Salah satunya, ketika memasuki kota Yerusalem dengan menunggangi keledai, Tuhan Yesus menangis melihat kota itu, dan berkata: “Wahai, betapa baiknya jika pada hari ini juga engkau mengerti apa yang perlu untuk damai sejahteramu!” tetapi sekarang hal itu tersembunyi bagi matamu.” (Luk. 19:42) Tuhan Yesus sangat menyesali keadaan umat-Nya yang tidak mengerti hal-hal yang perlu untuk damai sejahtera mereka. Umat Israel masih sibuk dengan hal-hal duniawi semata, pencarian kehormatan dari orang-orang seperti Farisi-Farisi yang sok saleh, dan tak bisa dihindari bahwa hal-hal itu justru dengan mudah merenggut damai sejahtera yang sudah diberikan Tuhan. Tuhan menangisi kebodohan umat-Nya itu.

Di dalam surat Paulus kepada Jemaat Galatia jelas sekali dituliskan, bahwa damai sejahtera itu adalah buah Roh. Ya, damai itu ada dalam kehidupan seseorang yang dipimpin oleh Roh Kudus, bukan oleh keinginannya, egonya, nama baiknya, harga dirinya, uangnya, kuasanya, posisinya…

Mudah sekali melihat apakah kita sudah betul-betul matang secara Rohani dan sudah memberi diri dipimpin Roh kudus: lihatlah bagaimana cara kita menghadapi dan mengatasi ‘konflik’ yang ada di dalam kehidupan ini. Kita, manusia, tak pernah lepas dari konflik, entah dengan lingkaran ‘kasih eros’ ‘kasih storge’ atau ‘kasih phillia’ bahkan ‘kasih agape’, nah, saat itu terjadi, apakah damai sejahtera itu bertahta di dalam hati dan pikiran kita? Jika ya, selamat!! Jika belum, kejarlah dan upayakanlah kita menghasilkan buah Roh damai sejahtera ini, sehingga hati kita tentram dan hidup kita tenang di dunia yang gonjang ganjing ini. Tuhan memberkati.


(Darmawasih Manullang)

“Buah Roh : SUKACITA”

“Tetapi buah Roh ialah kasih, sukacita, damai sejahtera,kesabaran,kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan dan penguasaan diri.” (Gal. 5:22-23)


Sukacita biasa dikenal ‘joy’ (Ing.) dan ‘chara’ (Yunani).  Asal kata ‘chara’ adalah ‘charis’, artinya rahmat. Dalam kaitan ini sukacita (chara) dihasilkan oleh "rahmat" (charis) Allah. Artinya, sukacita ini bukan kegembiraan manusia yang sesaat saja, melainkan sesuatu yang sejati dari Sang Khalik.

 Umumnya ketika kita ditanya kapan merasakan sukacita? Kita akan terjebak pada pengertian kegembiraan manusia yang merujuk pada kondisi tertentu. Misalnya: kala sembuh dari sakit yang menahun, (akhirnya) menemukan pasangan hidup setelah sekian lama terus memohonkan doa yang itu-itu juga, mendapat promosi di tempat yang hampir mustahil naik jabatan, dsb. Inikah sukacita yang dimaksud sebagai buah Roh?

Sekarang mari kita pikirkan situasi seorang Ibu yang setia dan takut akan Tuhan. Kelalaian seorang pengendara telah merenggut nyawa anaknya dalam kecelakaan lalu-lintas.Tak lama berselang, saat rasa kehilangan dan duka itu masih menyelimuti, ia mendengar kabar kematian mendadak suaminya dalam sebuah perjalanan dinas. Lara itu pasti memenuhi hatinya. Pasti sesak rasanya, sebab waktunya beruntun. Mungkinkah ia dipimpin Roh untuk tetap memiliki sukacita?

Buah Roh sukacita sangat berbeda dengan kegembiraan karena prestasi duniawi semata, melainkan dikarenakan hal-hal yang kita peroleh dari Tuhan. Ini tak mudah dipahami. Tetapi nasehat Paulus untuk "Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!" (Filipi 4:4) tentu bukanlah isapan jempol, sebab causa prima dari sukacita ini adalah TUHAN. Sukacita itu bias tetap ada karena kita merasakan kasih Kristus yang besar, menyelamatkan kita, menyertai kita, memberi kekuatan pada kita, memberi pengharapan di tengah gelapnya perjalanan hidup kita.

Jadi, mungkinkah Ibu itu merasakan sukacita di tengah dukanya?

Selamat bersukacita di dalam Tuhan! 

Tuhan memberkati.

(Daniel Hutahaean)