Total Tayangan Halaman

Minggu, 06 Oktober 2013

BIOGRAFI YAP THIAM HIEN


Melalui rubrik ini kami ingin perkenalkan kepada semua pembaca tokoh GKI yang tidak hanya berhasil menjadi tokoh Gereja tetapi juga berhasil menjadi tokoh nasional yang diakui. Bahkan Namanya diakui sebagi nama Award untuk bidang hukum.

Kami akan memposting beberapa tlisan dari beberapa sumber supaya kita bisa lengkap mengetahui siapa gerangan tokoh ini, latar belakangnya, kiprahnya dll.

Kutipan pertama diambil dri Majalaha Bahana Yang terbit 29 Agustus 2011, yang isinya sbb

Pembicara yang hadir di Kampus UKIJakarta, BAHANA
Kalau kau tidak salah, Lawan! Lawan Terus!’ Itu adalah nasihat Yap Thiam Hien seorang pengacara dan penegak Hak Asasi Manusia kepada Rektor Universitas Kristen Indonesia (UKI), Maruli Gultom. Sikap keras ini menjadi kesan kuat dari tokoh Kristen yang namaya dijadikan sebuah gelar award.

Sikap kuat ini menyeruak kembali pada acara Yap Thian Hien Memorial Lecture di Kampus UKI (14/6) yang dihadiri beberapa tokoh nasional. Menurut Maruli, ketokohan Yap berasal dari sikap keteguhan hati yang menjadi ciri diri. Satu teladan yang baik bagi siapapun yang mau berjuang bagi Hak Asasi Manusia. Ia menjadi inspirasi semua. Arif Budiman pernah menjuluki Yap sebagai seorang ‘Triple Minority’ di Indonesia, yaitu Tionghwa, Kristen dan Jujur.
Todung Mulya Lubis dalam tulisannya mencuplik ‘Teologia’ Yap Thian Hien yakni: Hukum, Keadilan, dan Hak Asasi Manusia. Tadung mengagumi tokoh Kristen ini dan berjuang agar ketokohannya bukan hanya sebagai pejuang HAM tingkat Nasional tapi Internasional.

“Kita akan terus memperjuangkan hal ini,” janji Todung. Acara ini juga menghadirkan beberapa tokoh gereja. Dihadiri juga oleh para civitas akademi dan pemerhati pendidikan
sebagai bentuk penghargaan akan perjuangan tokoh Kristen yang terkenal jujur ini.
Sumber: Majalah Bahana, Agustus 2011

Mengapa Pak Yap begitu bisa berani dan seolah tanpa rasa takut untuk membela si lemah, suatu sikap yang membuat banyak orang kagum termasuk para pakar hukum. Pak Yap juga begitu berhasil sebagai Kristen yang berhasil mentransformasikan Alkitab dalam kehidupannya sehari-hari yang menurut bahas Pak Todung : Hukum, Keadilan dan hak asasi manusia. Bukankah ini adalah hukum kasih dalam bahasa yang lain, dimana ketika hukum ditegakkan maka tidak akan ada manusia yang mengalami perlakukan semena -mena atas nama apapun dan di sisi lain hukum harus memberikan rasa keadilan untuk semua serta tidak mengingkari hak asasi manusia yang diberikan TUHAN ketika manusia diciptakan. Untuk bisa menggali mengapa Pak yap bisa seberani ini mungkin tulisan dari Wikipedia berikut bisa memberikan gambaran lebih detil tentang latar belakang beliau :

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas : 

Yap Thiam Hien (lahir di Koeta RadjaAceh25 Mei 1913 – meninggal di BruselBelgia25 April 1989 pada umur 75 tahun) adalah seorang pengacara Indonesia keturunan Tionghoa. Ia mengabdikan seluruh hidupnya berjuang demi menegakkan keadilan dan hak asasi manusia (HAM). Namanya diabadikan sebagai nama sebuah penghargaan yang diberikan kepada orang-orang yang berjasa besar bagi penegakan hak asasi manusia di Indonesia.

Biografi

Yap Thiam Hien, yang biasa dipanggil "John" oleh teman-teman akrabnya, adalah anak sulung dari tiga bersaudara dari Yap Sin Eng dan Hwan Tjing Nio. Kakek buyutnya adalah seorang Luitenant yang bermigrasi dari provinsi Guangdong di Tiongkok ke Bangka, namun kemudian pindah ke Aceh. Ketika monopoli opium di Hindia Belanda dihapuskan, kehidupan keluarga Yap dan banyak tokoh masyarakat Tionghoa saat itu merosot. Ditambah lagi oleh kekeliruan investasi di Aceh berupa kebun kelapa yang ternyata tidak memberikan hasil yang menguntungkan. Pada tahun 1920 kedudukan keluarga Yap digantikan oleh keluarga Han, yang datang dariJawa Timur.
Thiam Hien dibesarkan dalam lingkungan perkebunan yang sangat feodalistik. Kondisi lingkungan feodalistik ini telah menempa pribadi cucu Kapitan Yap Hun Han ini sejak kecil bersifat memberontak dan membenci segala bentuk penindasan dan kesewenang-wenangan.
Pada usia 9 tahun, ibu Thiam Hien meninggal dunia. Ia dan kedua orang adiknya kemudian dibesarkan oleh Sato Nakashima, seorang perempuan Jepang yang merupakan gundik kakeknya. Sato ternyata memainkan peranan besar dalam kehidupan Thiam Hien, memberikan kemesraan keluarga yang biasanya tidak ditemukan dalam keluarga Tionghoa serta rasa etis yang kuat yang kelak menjiwai kehidupan Thiam Hien di masa dewasa.
Yap Sin Eng, ayah Thiam Hien, ternyata adalah figur yang lemah. Namun Sin Eng ikut membentuk kehidupan anak-anaknya, karena ia memutuskan untuk memohon status hukum disamakan (gelijkstelling) dengan bangsa Eropa. Hal ini memungkinkan anak-anaknya memperoleh pendidikan Eropa, meskipun mereka telah kehilangan status sebagai tokoh masyarakat.

Pindah ke Jawa

Thiam Hien belajar di Europesche Lagere School, Banda Aceh. Kemudian melanjut ke MULO di Banda Aceh. Pada tahun 1920-an, Yap Sin Eng membawa Thiam Hien dan adiknya Thiam Bong pindah ke Batavia. Thiam Hien pun pindah sekolah ke MULO di Batavia, lalu meneruskan ke AMS A-II dengan program bahasa-bahasa Barat di Bandung dan Yogyakarta dan lulus pada 1933. Ia sangat tertarik akan sejarah dan fasih dalam bahasa-bahasa Barat, yaitu bahasa Belandabahasa Jermanbahasa Inggrisbahasa Prancis, danbahasa Latin.
Paa 1938, Yap memeluk agama Kristen, setelah selama beberapa tahun mempelajarinya dan berkenalan lewat sebuah keluarga Indo, tempat ia kos di Yogyakarta.

Menjadi guru

Selesai dari AMS, dunia pada saat itu dilanda depresi ekonomi, dan Yap tidak dapat memperoleh pekerjaan. Karena itu ia pindah keBatavia, dan masuk ke Hollands-Chineesche Kweekschool (HCK), di Meester Cornelis. HCK adalah sekolah pendidikan guru yang berlangsung satu tahun, yang memberikan kesempatan kepada para pemuda peranakan yang ingin menempuh pendidikan profesional, namun tidak mempunyai biaya untuk masuk ke universitas. Setamat dari HCK, Yap menjadi guru selama empat tahun di wilde scholen(sekolah-sekolah yang tidak diakui pemerintah Belanda) Chinese ZendingschoolCirebon. Berikutnya menjadi guru di Tionghwa Hwee Kwan HollChina School di Rembang dan Christelijke School di Batavia. Lalu, sejak 1938, Yap yang pernah menjadi pencari langganan telepon, bekerja di kantor asuransi Jakarta dan di Balai Harta Peninggalan Departemen Kehakiman pada 1943 serta mendaftar diRechsthogeschool (Sekolah Tinggi Hukum).

Berangkat ke Belanda

Pada awal 1946, Yap mendapatkan kesempatan untuk bekerja pada sebuah kapal pemulangan orang-orang Belanda yang mengantarkannya ke Belanda untuk menyelesaikan studi hukumnya di Universitas Leiden. Dari sana ia meraih gelar Meester in de Rechten. Sementara belajar di Leiden, Yap tinggal di Zendingshuis, pusat Gereja Reformasi Belanda di Oegsgeest. Selama tinggal di Zendingshuis, Yap banyak membaca buku-buku teologi Protestan dan berdiskusi dengan para mahasiswa Belanda yang mempersiapkan diri untuk menjadi misionaris. Yap semakin tertarik akan pelayanan gereja, dan Gereja Reformasi Belanda kemudian menawarkan kesempatan kepada Yap untuk belajar di Selly Oak College di Inggris, dengan syarat ia kelak mengabdikan hidupnya bagi pelayanan gereja di Indonesia. Yap setuju dan sekembalinya dari Eropa ia menjadi pemimpin organisasi pemuda Kristen Tjeng Lian Hwee di Jakarta pada akhir 1940-an. Selama di Belanda, Yap berkembang menjadi seorang sosialis demokrat melalui pergaulannya dengan banyak mahasiswa Indonesia lainnya yang terkait dengan Partij van de Arbeid (Partai Buruh) di Belanda.

Menjadi pengacara

Sekembalinya ke tanah air pada 1948, Yap menikah. Ayahnya, Yap Sin Eng dan Sato Nakashima meninggal pada 1949. Yap mulai bekerja di gereja. Ia pun kemudian mulai berkiprah sebagai seorang pengacara warga untuk warga keturunan Tionghoa di Jakarta. Belakangan ia bergabung dengan sebuah biro hukum kecil namun cukup terkemuka dengan rekan-rekannya yang semuanya terlibat dalam masalah yang jauh lebih luas daripada sekadar masalah Tionghoa. Rekan seniornya pada waktu itu antara lain adalah Lie Hwee Yoe, pendiri biro hukum itu pada tahun 1930-an, Tan Po Goan, seorang pendukung aktif revolusi dan kemudian menjadi anggota Partai Sosialis Indonesia, dan Oei Tjoe Tat yang jauh lebih muda, seorang aktivis Sin Ming Hui dan belakangan aktif di Baperki dan Partindo.
Setelah lebih berpengalaman, Yap bersama John Karwin, Mochtar Kusumaatmadja dan Komar membuka kantor pengacara pada 1950. Sampai kemudian, Yap membuka kantor pengacara sendiri sejak tahun 1970 dan kemudian memelopori berdirinya Peradin (Persatuan Advokat Indonesia) dan kemudian menjadi pimpinan asosiasi advokat itu.
Dalam rangka memperkuat perlawanannya terhadap penindasan dan tindakan diskriminatif yang dialami keturunan Tionghoa, Yap ikut mendirikan Baperki, suatu organisasi massa yang mulanya didirikan untuk memperjuangkan kepentingan politik orang-orang Tionghoa. Lalu, pada Pemilihan Umum 1955, ia menjadi anggota Konstituante. Namun Yap berbeda paham politik dengan Siauw Giok Tjhan, salah satu tokoh Baperki saat itu. Ia menentang politik Siauw yang cenderung kekiri-kirian. Karena itu Yap kemudian keluar dari organisasi itu.
Nama Yap muncul ke permukaan setelah ia terlibat dalam perdebatan di Konstituante pada 1959. Ketika itu, sebagai seorang anggota DPR dan Konstituante keturunan Tionghoa, ia menolak kebijakan fraksinya yang mendapat tekanan dari pemerintah. Ia satu-satunya anggota Konstituante yang menentang UUD 1945 karena keberadaan Pasal 6 yang diskriminatif dan konsep kepresidenan yang terlalu kuat.
Perjalanan karier dan perjuangannya juga ditopang dengan kuat oleh istrinya, Tan Gien Khing Nio, yang berprofesi guru. Mereka dikaruniai dua anak, Yap Hong Gie dan Yap Hong Ai, serta empat cucu. Yap, yang diberi penghargaan gelar doctor honoris causadikenal sebagai pengabdi hukum sejati.
Dalam perjalanan tugas menghadiri konferensi internasional Lembaga Donor untuk Indonesia di BrusselBelgia, Yap menderita pendarahan usus. Setelah dua hari dirawat di Rumah Sakit Santo Agustinus, Brussel, Yap menghembuskan napas yang terakhir pada25 April 1989. Jenazahnya diterbangkan ke Jakarta. Lima hari kemudian, diiringi ribuan pelayat, jenazahnya dikebumikan di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir Jakarta.
Selama hidupnya, Yap dikenal sebagai seorang Kristen yang saleh, dan aktif dalam kegiatan gereja. Ia ikut mendirikan Universitas Kristen Indonesia dan pernah duduk dalam salah satu komisi dari Dewan Gereja-gereja se-Dunia dan International Commission of JuristsArief Budiman pernah menjuluki Yap sebagai seorang "triple minority" di Indonesia, yaitu Tionghoa, Kristen, dan jujur.

Kegiatan

Selama menjadi pengacara, Yap pernah membela pedagang di Pasar Senen yang tempat usahanya tergusur oleh pemilik gedung. Yap juga menjadi salah seorang pendiri Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Pada era Bung Karno, Yap menulis artikel yang mengimbau presiden agar membebaskan sejumlah tahanan politik, seperti Mohammad NatsirMohammad RoemMochtar LubisSubadioSyahrir, dan Princen.
Begitu pula ketika terjadinya Peristiwa G30S, Yap, yang dikenal sebagai pribadi yang antikomunis, juga berani membela para tersangka G30S seperti Abdul LatiefAsep Suryawan, dan Oei Tjoe Tat. Yap bersama H.J.C PrincenAisyah Aminy, Dr Halim,Wiratmo Sukito, dan Dr Tambunan yang tergabung dalam Lembaga Pembela Hak-hak Asasi Manusia (LPHAM) yang mereka dirikan 29 April 1966 dan sekaligus mewakili Amnesty International di Indonesia, meminta supaya para tapol PKI dibebaskan.
Ia juga membuktikan nasionalisme tidak dapat dikaitkan dengan nama yang disandang seseorang. Ini dibuktikannya dengan tidak mengganti nama Tionghoa yang ia sandang sampai akhir hayatnya walaupun ada himbauan dari pemerintah Orde Baru kepada orang Tionghoa di Indonesia untuk mengganti nama Tionghoa mereka.
Ia juga membela Soebandrio, bekas perdana menteri, yang menjadi sasaran cacian massa pada awal Orde Baru itu. Pembelaan Yap yang serius dan teliti kepada Soebandrio itu sempat membuat hakim-hakim militer di Mahmilub (Mahkamah Militer Luar Biasa) bingung dan kesal.
Yap juga seorang tokoh yang antikorupsi. Ia bahkan sempat ditahan selama seminggu pada tahun 1968 sebagai akibat kegigihannya menentang korupsi di lembaga pemerintah.
Pada Peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) 1974, Yap juga tampil teguh memosisikan diri membela para aktivismahasiswa. Ia pun ditahan tanpa proses peradilan. Ia dianggap menghasut mahasiswa melakukan demonstrasi besar-besaran. Begitu pula ketika terjadi Peristiwa Tanjung Priok pada 1984, Yap maju ke depan membela para tersangka.

Dari cerita di atas yang kami ambil dari Wikipedia maka jelas sekali bagaimana pengalaman dan pendidikan masa kecil beliau membentuk karakter beliau dan perjumpaan dengan TUHAN melalui teladan Ibu kosnya serta kesungguhannya belajar Firman TUHAN membuat dia menjadi Kristen yang punya dasar kuat. Tidak hanya menjadi kristen karena keturunan, ikut suami/istri atau terpengaruh teman tetapi benar-benar Kristen yang mengenal TUHAN nya secara pribadi. Berikut tulisan Sinar Harapan tentang Iman beliau dan hubungan iman dengan perilaku beliau :

16.06.2011 09:51

“Kalau kau tidak salah, lawan! Lawan terus! Karena itu jangan bikin salah. Ongkosnya mahal”. Pesan yang digaungkan oleh tokoh hak asasi manusia (HAM) Yap Thiam Hien ini masih terus tertancap di hati Rektor Universitas Kristen Indonesia (UKI) Maruli Gultom.
Yap Thiam Hien memang sosok yang menekankan aspek kejujuran, sehingga ia pantas disebut sebagai seorang triple minority. Seperti yang dikatakan sosiolog Arief Budiman, yakni triple minority karena ia keturunan Tionghoa, Kristen, dan jujur.
Kejujuran Yap tampak dalam sikapnya sebagai seorang pengacara, sikap yang jarang ditemukan pada zaman sekarang.
“Ada yang mengatakan bahwa apabila Anda ingin kalah, pilihlah Yap Thiam Hien sebagai pengacara,” kata Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Pdt Dr AA Yewangoe dalam acara Yap Thiam Hien Memorial Lecture, di Kampus UKI, Selasa (14/6).
Selain dikenal jujur, Yap merupakan sosok antidiskriminasi. Ini juga yang dinyatakan oleh pengacara Albert Hasibuan. Ia mengaku mengenal Yap pada 1960-an saat menjadi Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Kristen Indonesia.
Menurutnya, dalam mewujudkan masyarakat berkeadilan, yang paling tampak pada diri Yap adalah sikapnya yang tidak diskriminatif. Hal inilah yang membuat Yap menentang Pasal 6 UUD 1945 yang mengharuskan Presiden adalah orang Indonesia asli.
Penentangan Yap ini sudah terjawab dalam UUD 1945 yang sudah diamendemen empat kali.
Iman yang Dinyatakan
Sementara itu, Pdt Josef P Widyatmadja menekankan sisi spiritualitas iman yang dimiliki Yap. Menurutnya, iman Yap merupakan iman yang nyata yang diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Lima prinsip yang harus dilakukan untuk membenahi jiwa manusia, yakni melakukan pembersihan hati, bukan cuci otak; menggunakan paradigma kristosentris, bukan homosentris, maupun materialistis; menghapus praduga, egoisme, dan kemunafikan, serta terlahir kembali dalam iman Yesus Kristus.
Hal inilah yang membuat semangat pelayanan Yap tidak pernah kehilangan pijakan iman kristianinya. Oleh karena itu, Josef menggolongkan Yap sebagai sosok yang seimbang dalam confession dan compassion.
Oleh sebab itu, Josef menyesalkan spiritualitas dewasa ini yang hanya ditandai dengan pembangunan rumah ibadah. “Sikap spiritualitas itu bukan hanya membaca mantra di depan latar, tetapi praksis iman di tengah-tengah orang yang terkapar,” tuturnya.
Begitu pula pengacara Todung Mulya Lubis, menitikberatkan pada sisi spiritualitas Yap yang selalu menjadi inspirasi dan contoh bagi orang di sekitarnya.
“Yap adalah sosok yang selalu memberikan semangat dan idealisme kepada anak-anak muda serta merupakan aktivis HAM sejati,” ujarnya.
Menurutnya, Yap tidak pernah betul-betul menjadi orang yang mengejar uang, dan menjadi ikon pemersatu bangsa Indonesia. Apalagi, kata Todung, Indonesia sering mengaku sebagai negara demokrasi, padahal di sisi lain hak-hak kaum minoritas masih sering dilanggar seperti dalam hal beragama dan berkeyakinan.
Dasar inilah yang membuatnya menggunakan nama Yap Thiam Hien sebagai bentuk penghargaan. Ini untuk mengingatkan semua pihak tentang realitas Indonesia yang kaum minoritasnya masih sering diusik.
“Yap adalah reminder (pengingat),” tuturnya. Meski Todung mengaku sempat menerima surat kaleng yang berisi ketidaksetujuan mengapa seorang Tionghoa dan Kristen dijadikan sebagai nama penghargaan.
Lebih jauh, menurutnya, masalah ini disebabkan segi filsafat, etika, dan moral telah dilupakan. Bahkan, filsafat hukum yang seharusnya menjadi dasar penting mulai tergencet tempatnya dalam program studi hukum.
Acara mengenang Yap Thiam Hien lewat memorial lecture ini diadakan oleh PGI, GKI, UKI, Ukrida, STT Jakarta, dan BPK Penabur. Kegiatan ini pertama kali diselenggarakan pada27 April 2011 di Surakarta, kemudian di Universitas Atma Jaya Yogyakarta, lalu di Semarang.
Rencananya, rangkaian acara ditutup dengan peluncuran buku pada 10 Desember 2011 bertepatan dengan Hari HAM Sedunia.
Pdt Josef P Widyatmadja selaku koordinator nasional acara ini, mengakui tujuan diselenggarakannya memorial lecture karena ada kegalauan, kegelisahan, dan keresahan yang dirasakan oleh penduduk Indonesia saat ini; mulai dari masalah penegakan hukum dan korupsi, pelanggaran HAM, kekerasan atas nama agama, diskriminasi terhadap kalangan minoritas, serta “jurang” antara orang kaya dan miskin. 

Ketokohan Yap yang diakui teman agama lain juga bisa kita baca di buletin online Citra Islam yang menulis ttg beliau. Tulisan ini juga membuat kita harusnya kagum dengan ketokohan beliau. Dimana tulisan lengkapnya  sbb :

Berita Dunia Islam Terkini - YAP Thiam Hien nama Cina itu melekat hingga akhir hayat. Ketika pemerintah memaksa warga Tionghoa mengganti nama, ia menolak. Bagi Yap, dengan nada keras setiap kali ia katakan, tujuan asimilasi tak akan tercapai jika dilakukan dengan paksaan.
Identitas tak mungkin disetip. Menghilangkan identitas adalah pelanggaran hak asasi manusia. Jika bangsa ini ingin menghilangkan sekat-sekat perbedaan, “Yang diperlukan adalah pembersihan hati,” kata pria kelahiran Banda Aceh, 25 Mei 1913, ini.
Keras, tegas, jujur, itulah Yap. Politik kotor dan penuh muslihat tak cocok dengannya. Baginya, kemanusiaan, keadilan, dan hak asasi manusia adalah hal teragung yang mesti ditegakkan. Itu sebabnya, ketika Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki)Yap ikut mendirikannya pada 1954—mendukung keinginan Sukarno kembali ke Undang-Undang Dasar 1945, Yap menolak.
Yap mengaum di podium. Baginya, dalam hal perlindungan pada hak asasi manusia, UUD Sementara 1950 lebih baik daripada UUD 1945. Dia menunjuk Pasal 6 UUD 1945 Presiden ialah orang Indonesia asli yang disebutnya tidak adil dan mengabaikan pluralisme. Berbeda sikap dengan partainya, Yap tersingkir. Kini, hampir 50 tahun kemudian, Majelis Permusyawaratan Rakyat mengamendemen pasal itu.
Kebenaran terkadang datang terlambat.
Yap membela siapa pun yang diperlakukan tak adil. Saat banyak orang meludah kepada mereka yang disebut sebagai anggota Partai Komunis Indonesia, ia membela Soebandrio, bekas wakil perdana menteri yang sebenarnya musuh politiknya sendiri. Ia juga memprotes pengiriman tahanan PKI ke Pulau Buru. Lewat lembaganya, Persekutuan Pelayanan Narapidana dan Tahanan (Prison Fellowship Indonesia), Yap menyerukan pembebasan semua tahanan PKI.
Syahdan, sejumlah warga pinggiran Jakarta datang ke Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, organisasi yang juga didirikan Yap. Mereka mengadu karena tempat tinggal mereka digusur meski para warga itu memiliki surat tanah.
Berwajah lelah dan lusuh, mereka diterima Yap dan sejumlah pengurus LBH. “Kami tidak menentang pemerintah. Kami hanya minta ganti rugi memadai,” demikian ujar seorang pengadu. Mendengar kalimat itu, Yap mendongak. Wajahnya memerah. “Stop! Kalian tidak boleh berkata begitu. Kalian harus berani menentang kalau pemerintah salah. Tidak berdosa menentang pemerintah,” katanya keras.
Bagi Yap, kebenaran adalah harga mati. Ia membela sebuah kasus bukan untuk kemenangan, melainkan demi menemukan kebenaran. Adagium fiat justitia ruat coelum keadilan mesti ditegakkan walau langit runtuh sekalipun dilaksanakannya.
Pembaca, dalam rangka 100 tahun kelahiran pendekar hukum dan hak asasi manusia tersebut, kami menerbitkan edisi khusus Yap Thiam Hien.
Seperti pada penulisan edisi tokoh sejarah lainnya, penggalian bahan kami lakukan mula-mula dengan menggelar dis­kusi. Pembicaranya antara lain Harry Tjan Si­lalahi, Todung Mulya Lubis, Adnan Buyung Nasution, Abdul Hakim Garuda Nusantara, dan Aristides Katoppo. Sebagai wartawan Sinar Harapan, Aristides pada 1966 kerap mewawancarai Yap, yang tengah membela Soebandrio.
Dari lingkaran terdekat Yap, kami mewawancarai Yap Hong Gie, putra tertua Yap, dan Utama Wijaya asisten Yap sejak 1982 hingga Yap meninggal pada 1989. Kami juga mengundang Albert Hasibuan, bekas aktivis mahasiswa Universitas Kristen Indonesia perguruan tinggi yang juga didirikan Yap. Albert bersama Yap pernah pula mendirikan firma hukum.
Kami juga mengirim sejumlah wartawan menelusuri kembali jejak hidup Yap. Selain mereportase tanah kelahirannya di Banda Aceh, kami mengunjungi tempat Yap bersekolah di Yogyakarta. Di Rembang, Jawa Tengah, kami mendatangi sekolah khusus anak-anak Cina, tempat Yap pernah mengajar. Di Belanda, kami juga mewawancarai bekas Sekretaris Baperki Go Gien Tjwan, kini 93 tahun.
Pembaca, Yap adalah pejuang meski ia minoritas dalam tiga lapisan. Ia Cina. Ia Kristen. Ia jujur. Dalam hal yang terakhir, kita mesti becermin kepadanya.

Sebagai bagian terakhir kami ingin ambil tulisan Pak Pendeta Andar Ismail yang menjelaskan siapa Yap Thiam Hien yang dibuat dalam dua bagian tetapi di tulisan ini kami sampaikan bersamaan dengan tetap menuliskan bagian I dan II supaya maksud penulisannya tidak berkurang. Tulisan ini dibuat dalam rangka peringatan 100 tahun beliau. Tulisan lengkap Pak Andar sbb :

100 Tahun Yap Thiam Hien (Bagian Ke-1 dari dua Tulisan)

yap
Orang besar itu ternyata badannya kecil. Saat berdiri beliau lebih pendek dari saya.  Pundaknya sempit. Ia menatap dan berjabat tangan nyaris tanpa ekspresi.  Langsung ia duduk lagi. Saat itu saya gugup. Saya berhadapan dengan orang besar yang namanya sudah lama saya ketahui. Itulah Yap Thiam Hien.

Tentu bukan bandingan. Saya cuma murid sekolah teologi, sedangkan Yap Thiam Hien (selanjutnya Yap) sudah jadi advokat dan anggota DPR terkenal yang sering muncul di koran mengkritik Presiden Sukarno.
Saya baru datang sebagai calon pendeta yang penuh ketidakpastian, ia adalah penatua yang penuh percaya diri. Saya baru 22 tahun, ia 49 tahun. Itu terjadi pada 1962 di GKI Gang Kelinci Jakarta (selanjutnya GKI Samanhudi) menjelang rapat Majelis Jemaat.

Beberapa minggu kemudian ada Konferensi Pemuda GKI se-Jawa.  Saya menyampaikan ceramah bertopik “Perencanaan Program Tahunan Komisi Pemuda Gereja Setempat”.  Kedua pendeta senior hadir karena mereka supervisor saya. Ternyata Yap juga hadir!

Seusai ceramah Yap tersenyum manis dan berkata, “Hong An, goed gedaanMaar jij moet sociologie studeren!” Artinya, “Hong An, kerjamu bagus! Tetapi kamu perlu belajar sosiologi!”. Itulah ucapan pertama Yap kepada saya.
Ucapannya yang kedua adalah, “Noem mij Pak Yap!” artinya, “Sebut saya Pak Yap!”. Zaman itu sebutan yang lazim adalah Meneer Yap atau Meester Yap. Ternyata beliau lebih senang disebut Pak Yap.

Siapa sebenarnya Yap?  Ia lahir di Aceh 25 Mei 1913.  Baru saja ia berusia 9 tahun ibunya meninggal. Sejak itu ia diasuh oleh neneknya.  Ia masuk SMA di Yogyakarta.  Di situ ia mondok pada keluarga keturunan Jerman. Dalam keluarga ini Yap mulai mengenal gaya hidup Kristus berwujud kasih sayang.

Keinginan Yap untuk mengenal iman Kristen dilanjutkan ketika ia belajar di Sekolah Guru di Jakarta. Ia menjadi aktivis pemuda dan guru Sekolah Minggu. Ia ikut katekese dan menerima baptisan di GKI Perniagaan pada usia 25 tahun.
Lulus dari Sekolah Guru Yap mengajar di SD Cirebon dan Rembang. Kemudian ia kembali ke Jakarta dan belajar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia sambil tetap menjadi guru SD. Ia bergabung dengan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia dan ikut memikirkan perjuangan kemerdekaan.

Kegembiraan Yap untuk menjadi guru Sekolah Minggu dan aktivis pemuda dilanjutkan ketika ia belajar hukum di Universitas Leiden. Ia tinggal di kamar paling dekat atap di Wisma Sending Oegstgeest dan berkenalan dengan banyak buku teologi berbobot. Ia dikirim Dewan Sending untuk belajar Pendidikan Agama Kristen (PAK) Anak dan PAK Remaja/ Pemuda selama satu semester di Selly Oak College, Inggris.

Sekembalinya di Indonesia Yap menjadi advokat dan langsung tenggelam dalam kesibukan di gereja dan masyarakat. Sebagai penatua GKI Samanhudi ia ikut dalam banyak urusan sinode dan PGI. Ia ikut membentuk Badan Pendidikan Kristen Penabur pada 1950 dan menjadi ketua pada 1954-1957. Kemudian hari bersama TB Simatupang ia membentuk UKI. Kemudian hari lagi Yap juga sibuk di berbagai badan oikumenis di Dewan Gereja Asia dan Dewan Gereja se-Dunia.

Sebagai politikus Yap lebih sibuk lagi. Di DPR ia anggota fraksi Partai Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia). Ketika kemudian Baperki condong ke paham komunis Yap keluar. Pernah Yap memihak para pekerja seks komersial dalam melawan Gubernur Sadikin.  Gubernur berang namun dengan jiwa besar mengundang Yap untuk bertemu. Kepada kami di gereja Yap menceriterakan bahwa percakapan itu kaku dan dingin. Namun sejak itu kedua orang itu menjadi sahabat dekat.

Bersama dengan Adnan Buyung Nasution, Albert Hasibuan dan lainnya, Yap mendirikan Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Yap menganjurkan agar tiap gereja mendirikan biro bantuan hukum untuk menolong orang yang tidak mengerti dan tidak berdaya membela haknya.

Yap juga turut merintis pembentukan Dewan HAM di Asia.  Ia putra Indonesia pertama yang duduk di Komisi Internasional Advokat berkedudukan di Jenewa dan konsultan HAM Dewan Gereja se-Dunia di Jenewa.
Ketika Presiden Sukarno jatuh pada tahun 1965 banyak orang yang semula mendukung Sukarno langsung menghujatnya. Salah seorang sasaran hujatan itu adalah Menlu Subandrio yang diadili di Mahkamah Militer. Yap menjadi pembelanya.

Pleidoi Yap terkenal ke berbagai belahan dunia. Ketika itu terjadi saya sedang bersekolah selama tiga tahun di Instituut Kerk en Wereld di Belanda. Pada malam itu saya diundang ke rumah Arend van Leeuwen, rektor sekolah kami, penulis buku Christianity in World History yang dipakai di banyak sekolah teologi di dunia. Rektor itu memperlihatkan naskah pleidoi Yap dalam bahasa Belanda, Inggris, Jerman, dan Prancis. Yap dikagumi di dunia internasional.
Dalam pleidoi itu Yap berdalil bahwa memang benar Subandrio bersalah menjadi pendukung Sukarno, tetapi pada waktu itu kita semua pun jadi pendukung Sukarno. Oleh sebab itu siapa gerangan yang berhak menghukum Subandrio karena kita pun sama salahnya seperti dia?.

Lalu Yap mengutip cerita Injil tentang seorang perempuan yang hendak dirajam oleh para pemuka agama dengan tuduhan perbuatan asusila. Lalu Yap mengutip ucapan Yesus kepada para pemuka agama itu, “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu” (Yoh. 8:7).
Kemudian hari saya diberitahu bahwa ketika mempersiapkan pleidoi itu Yap merenung bersama seorang pendeta dan seorang penatua GKI Samanhudi.
Penulis: Andar Ismail, WJ 23 Juni 2013
Artikel ini diakses melalui kata kunci:

Related Post to 100 Tahun Yap Thiam Hien (Bagian Ke-1 dari dua Tulisan)


100 Tahun Yap Thiam Hien (Bag. Ke-2 dari dua tulisan)

yap1 
Untuk edisi 100 Tahun Yap Thiam Hien, dua orang redaktur Majalah Tempo mewawancarai saya selama satu jam dan bertanya apa sumbangsih terbesar Yap untuk gereja-gereja di negara ini. Saya menjawab, “Yap memberi hati nuraninya kepada gereja.


Yap mengingatkan gereja agar jangan terlena dalam aspek vertikal individu dengan Allah, melainkan harus mengutamakan aspek horizontal gereja dengan masyarakat”. Yap tidak menyukai ibadah yang berlangsung lebih dari satu jam apalagi yang seremonial. Ia sering mengutip ayat berbahasa Belanda yang ia hafal, “Aku membenci… perayaanmu … Jauhkanlah dari pada-Ku keramaian nyanyian-nyanyianmu … Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir” (Am. 5:21-24).

Menanggapi semua kritik itu kami sungguh berpadu hati dengan Yap. Tidak pernah terjadi kerenggangan. Akan tetapi konflik timbul dalam perkara ganti nama.  Pemerintah membuka kesempatan kepada warga negara keturunan Tionghoa untuk berganti nama. Kami berpandangan bahwa pergantian nama dapat memperlancar proses kesatuan bangsa pada generasi-generasi mendatang. Oleh sebab itu GKI Samanhudi memfasilitasi proses pergantian nama. Yap marah. Ia berkeyakinan, “Yang penting bukan punya nama Indonesia, melainkan punya perbuatan berguna  untuk Indonesia.”

Akibat perbedaan paham ini Yap menjadi kecewa pada GKI Samanhudi. Ia tidak ke gereja lagi. Umat tentu menyayangkan dan mengeluh, “Kita menghargai Yap yang tidak ganti nama, kenapa ia tidak menghargai kita yang berganti nama?”

Selama Yap tidak mengikuti ibadah gereja, selama itu kami terus mencari jalan untuk bisa berhubungan dengan Yap sekeluarga. Para pendeta GKI Samanhudi tiap Senin pagi berdiskusi dan sering membicarakan dan mendoakan Yap. Saya tahu betul itikad baik para senior saya. Apalagi salah seorang senior itu bertetangga dengan rumah Yap.
Tiap usai kebaktian remaja di SMPK Pembangunan saya bercakap-cakap dengan Ibu Yap yang menemani putrinya. Ibu Yap selalu berkata dengan penuh perasan, “Ik zal uw preek aan mijn man vertellen. ”Artinya, “Saya akan menceritakan khotbah Anda kepada suami saya.”

Umat GKI Samanhudi berusaha memelihara hubungan dengan Yap. Memang benar bahwa kami tidak mengunjungi Yap ketika beliau ditahan oleh militer akibat peristiwa Malari 1974 namun itu disebabkan karena kami sama sekali tidak diizinkan masuk meski kami berbekal surat resmi.

Jadi kelirulah tulisan yang mengatakan bahwa para tokoh gereja tempat Yap pernah mengabdi seolah-olah melupakannya. Kelirulah tulisan itu yang mengatakan bahwa Yap telah disangkal oleh banyak pemimpin gereja.
Juga keliru tulisan itu yang mengatakan bahwa tidak ada lagi gereja dan sinode yang berani memberi panggung bagi Yap. Pada 1978 saya mengunjungi Yap dan meminta ia berceramah di GKI Samanhudi tentang pelayanan bagi para mantan tahanan politik pulau Buru. Yap datang dengan istrinya, saya menjadi moderatornya, dan di antara hadirin terdapat Sem Purwadisatra, Ketua Sinode GKI Jabar.

Setahun kemudian sebagai Kepala Program PWG  STT Jakarta saya selama lima malam berturut-turut menjemput, menjadi moderator, dan mengantar pulang Yap dalam rangka Pekan Studi Warga Gereja.
Saya mengawali pekerjaan di GKI Samanhudi dengan kehadiran Yap dan 38 tahun kemudian mengakhirinya juga di GKI Samanhudi namun tanpa Yap. Pada  1989 Yap meninggal dunia dalam usia 75 tahun ketika menghadiri konferensi di Veurne, Belgia.

Ketua sidang mengajak hadirin menundukkan kepala bagi “The great little man, Pak Yap”. Artinya, “Orang kecil yang besar, Pak Yap”.  Benar, Pak Yap orang besar.  Badannya kecil, orangnya besar.
Penulis: Andar Ismail, WJ GKI Samanhudi, 30 Juni 2013

Demikianlah Kumpulan Tulisan tentang pak Yap Thiam Hien. Seorang penatua di GKI yang juga menjadi bidan dari berdirinya Yayasan Penabur yang termasyur serta merupakan Yayasan Pendidikan milik GKI sampai sat ini. semga Yayasan ini mewarisi sikap rendah hati dan kesederhanaan pendirinya. pak yap juga menjadi bidan dari berdirinya UKI sebagai Universitas Kristen dan di sisi lain beliau juga menjadi pendiri LBH sebagai lembaga Bantuan Hukum yang membantu banyak orang miskin yang teraniyaya. LBH juga melahirkan banyak pengacara hebat yang relatif baik dan idealis di tengah buruknya sistem hukum Indonesia.
Semoga kita sebagai warga GKI bisa meneladani beliau dan juga mengajar anak cucu kita punya jiwa seperti bilau. Sebagai Kristen sejati dan juga warga negara yang baik dan diakui semua orang dengan berbagai latar belakang. Suatu contoh keteladanan  yang semakin langka kita temui saat ini.

Semoga kumpulan tulisan ini bermanfaat buat kita semua. Tuhan YESUS Memberkati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar