Tulisan ini dibuat Pdt Tumpal Tobing dari GKI Pondok Indah yang kami rasa cukup bisa mewakili pendapat GKI ttg perjumpaan Injil dan Budaya. Semoga bermanfaat.
Perjumpaan Injil dan Budaya
Tidak pernah terbersit
dalam pikiran, saya akan punya kesempatan untuk berkunjung dan bahkan merasakan
kehidupan selama satu malam dua hari di Pesantren “Pandanaran” Jogjakarta dalam
kaitannya dengan program SITI (Study Intensive Islam) yang diadakan oleh
Universitas Kristen Duta Wacana, pada bulan Juli yang lalu.
Upaya untuk mewujudkan
“teologia kontekstual,” yaitu suatu pemikiran teologia yang bisa mendarat dan
dipahami oleh orang yang hidup di dalam suatu budaya dan tempat tertentu,
ternyata tidak hanya monopoli para teolog Kristen, namun juga terjadi pada
saudara-saudara teolog Muslim. Misalnya bagaimana menjadikan teks-teks dalam
Al-Quran dipahami dengan baik dalam situasi paling aktual sekarang ini dan
khususnya dalam kebersamaan hidup dengan agama-agama lainnya. Kemudian
bagaimana teks-teks tersebut dapat menjadi pegangan dalam menghadapi
“kemerosotan” moral dan sekaligus memberikan motivasi yang kuat untuk ikut
ambil bagian dalam kemajuan teknologi dan pengetahuan di era globalisasi
sekarang ini.
Penerimaan yang sangat
terbuka dengan dialog yang hangat dan sangat akrab tanpa perasaan curiga telah
membangun persahabatan yang mengarah pada keinginan bersama untuk melakukan
yang terbaik bagi keberadaan generasi muda yang saat ini sedang mengalami
tantangan yang tidak gampang.
Pengalaman yang kedua
dan sangat menginspirasi terjadi pada keikutsertaan saya dalam konven pendeta
seluruh GKI yang diselenggarakan pada awal bulan Agustus ini. Salah satu
programnya adalah melakukan kunjungan ke “Kampoeng Kidz” yaitu Education Land,
tempat untuk bermain sambil belajar dengan menggunakan metode Experiental
Learning yang membuat proses belajar menjadi lebih menarik dan menyenangkan
bagi remaja.
Tempat ini didirikan
pada tahun 2007 oleh Bapak Yulianto yang mempunyai komitmen untuk menolong dan
sekaligus memberdayakan anak-anak yang tidak mampu, khususnya anak-anak yatim piatu
dari berbagai daerah dan latar belakang agama. Hal yang paling menarik adalah,
selain mereka (anak-anak remaja) dapat memperoleh pendidikan dan fasilitasnya
dengan gratis, mereka juga harus memelihara budaya serta ketaatan mereka kepada
Tuhan sesuai dengan agama masing-masing. Gagasan pluralitas–inklusif–terbuka,
partisipatif dan peduli dari Pak Yulianto dan teman-temannya mengingatkan saya
pada perwujudan visi dan misi GKI Pondok Indah. Apa yang dilakukan oleh Pak
Yulianto sungguh didasarkan pada iman percayanya kepada Injil Tuhan Yesus
Kristus.
Perjumpaan dengan dua
pengalaman di atas, yang disempurnakan dengan mendengarkan uraian Pdt. Joas
Adiprasetya dalam Forum Diskusi Teologia di GKI Pondok Indah tanggal 15 Agustus
lalu, telah mendorong saya, pada momentum “Bulan Budaya” di GKI Pondok Indah
ini, untuk mencermati kembali sejauh mana relevansi Injil dalam menghadapi
“budaya modern,” khususnya dalam konteks pergumulan kehadiran Gereja di
Indonesia saat ini.
Interaksi Injil dan Budaya
Apakah Injil bisa
dibebaskan atau dipisahkan dari budaya? Dalam kenyataannya Injil datang bersama
dengan kebudayaan barat, dan tentu saja hal ini akan sangat berpengaruh pada
konteks di mana Injil itu dihadirkan. Injil selalu hadir dalam konteks sejarah
manusia dan itu berarti sejak dari awal keberadaannya selalu berada dan
terbungkus dalam budaya tertentu. Jejak peninggalan yang masih dapat kita
saksikan sekarang adalah, pemakaian toga, jas, musik gereja dan liturgi serta
organisasi gereja. Jadi jelas kehadiran Injil tidak dapat dilepaskan dari
budaya barat yang meliputnya.
Ada konsep teologis
yang menyatakan bahwa hubungan Injil dan Budaya seperti biji dengan kulitnya,
karena itu kita hanya perlu mendapatkan bijinya dan membungkuskan dengan kulit
yang baru. Konsep seperti ini ternyata tidak dapat dipahami karena gambarannya
bukan seperti kulit dengan bijinya, melainkan seperti bawang bombai yang tidak
punya biji, sehingga sebanyak dan sedalam apa pun dikuliti tidak akan ditemukan
apapun karena di dalam kulit bawang itulah meresap semua isinya. Persis seperti
Injil yang tumbuh dalam budaya tertentu, ketika dihadirkan di suatu tempat yang
baru ia akan tetap berada dalam kulitnya. Yang penting sebenarnya bukanlah
memisahkan Injil dari budayanya, melainkan bagaimana dapat secara kritis
memberikan makna baru yang bermanfaat bagi budaya setempat, sebab budaya terus
berubah secara dinamis.
Oleh karena budaya
selalu berkembang, maka kita perlu terus-menerus mencermati perubahan budaya
yang terjadi yang saat ini, misalnya mengarah pada budaya modern, post modern,
konsumerisme, hedonisme, materialisme, pornografi dan lain-lain. Perkembangan
budaya yang seperti ini tidak boleh luput dari pengamatan kita, sebab budaya
dapat memberi pengaruh yang buruk tapi juga pengaruh yang baik. Tinggal
bagaimana kita dapat memanfaatkan dan memberi makna yang baru dan lebih baik,
makna yang bermanfaat bagi kehidupan bersama dalam masyarakat manusia.
Sebelum melanjutkan
pokok bahasan kita, mari kita sejenak kembali pada pertanyaan, apa sebenarnya
budaya?
Kata kebudayaan,
menurut Prof. Koentjaraningrat, seorang antropolog, berasal dari kata
Sansekerta: buddhayah, yaitu bentuk jamak dari kata “buddhi” atau budi yang
artinya roh atau akal, dan daya, yaitu kuasa atau kekuatan, sehingga kebudayaan
dapat berarti “segala sesuatu yang diciptakan oleh budi manusia.” Istilah ini
bila dikawinkan dengan kata kultur, yang berasal dari kata kerja Latin colo,
kolere, yang kemudian membentuk kata kerja colere, berarti: membuat, mengolah,
mengerjakan, menghias, mendiami (Verkuyl, 1966: 12-13). Dari sini dapat kita
simpulkan bahwa kebudayaan menjelaskan tentang segala sesuatu yang dipikirkan,
diusahakan, serta dikerjakan oleh manusia dalam lingkup (konteks) hidupnya
secara utuh untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan.
Dengan demikian,
budaya atau kebudayaan memiliki makna yang sangat luas dan seolah tidak ada
batasnya. Ia mencakup berbagai dimensi kehidupan manusia yang lahir sebagai
hasil olah akal dan budi, mulai yang terkecil hingga yang terbesar; mulai dari
tata cara makan hingga tata cara mengelola sebuah negara.
Ada banyak definisi
mengenai kebudayaan, namun semua nampaknya mengerucut pada kesimpulan yang
sama, yaitu bahwa kebudayaan adalah ciptaan manusia. Dengan demikian, tidak ada
budaya tanpa manusia dan tidak ada manusia tanpa budaya. Manusia dan budaya
bagaikan dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan.
Perjumpaan antara
Injil dan Budaya tidak dapat dilepaskan dari upaya misi atau yang lebih dikenal
dengan Pekabaran Injil. Misi sering kali dipahami sebagai usaha penginjilan
dengan tujuan penambahan jumlah orang Kristen; dan dengan semangat yang
eksklusif (tertutup) usaha penginjilan ini sering kali dilaksanakan tanpa
mempertimbangkan konteks masyarakat Indonesia. Kenyataan Indonesia yang
ditandai dengan kemiskinan yang merajalela dan keagamaan yang multi-wajah belum
mendapat tempat dan perhatian dalam pemahaman dan semangat misi eksklusif yang
diwarisi gereja-gereja di Indonesia. Apabila sikap dan semangat eksklusif itu
tetap dipertahankan, maka misi Gereja Indonesia dapat dikatakan sedang dalam
keadaan krisis, paling tidak krisis dalam pemahaman yang pada gilirannya sangat
memengaruhi pelaksanaan misi Gereja.
Bagaimana perjumpaan
Injil dan Budaya dalam Alkitab?
Belajar dari Kisah Para Rasul
Perjumpaan Injil
dengan budaya lain mengarah pada suatu pembentukan identitas. Petrus, yang pada
mulanya bertolak hanya di sekitar Yerusalem, Yudea dan Samaria sebenarnya masih
berada dalam masyarakat Yahudi. Ketika Injil berjumpa dengan tradisi Yahudi
ini, tidak ada masalah karena masyarakat dan pembawa berita Injil itu sama-sama
berlatar belakang Yahudi yang menjalankan kebiasaan-kebiasaan menyangkut
makanan haram, hari Sabat, peraturan sunat dan lainnya.
Namun ketika Petrus
mulai mengunjungi wilayah pantai yang berkebudayaan Yunani-Romawi, tindakan
Petrus ini ternyata membawa dampak yang luar biasa pada cara melaksanakan
pemberitaan Injil.
Pelan-pelan menjadi
jelas bahwa kekristenan harus menetapkan tradisi baru yang berlainan dengan
tradisi Yahudi. Hal inilah yang menimbulkan bentrokan dengan para pemuka agama
Yahudi, imam-imam kepala dan kaum Saduki. Dalam pandangan mereka, para penganut
kristiani awal dinilai menyeleweng dari tradisi. Dan penyelewengan seperti itu,
menurut hukum tidak bisa ditoleransi karena menggoyahkan keutuhan dan kesatuan
budaya. Oleh karena itu mudah dipahami kalau orang-orang Kristen pertama itu
dikejar-kejar, ditangkap dan dipenjara –dari antara mereka banyak juga yang
dibunuh–pertama-tama oleh otoritas agama Yahudi.
Pertemuan dengan alam
pikiran Hellenis (budaya Yunani) telah memberikan corak yang baru dalam
perkembangan Injil.
Kornelius adalah
seorang perwira yang mewakili kekuasaan Romawi, “Ia saleh, takut akan Allah,
memberi banyak sedekah kepada umat Yahudi, dan senantiasa berdoa kepada Allah”
(Kisah Rasul 10:2, 22). Ia mewakili sekelompok besar orang non-Yahudi yang
tertarik kepada paham Yahudi mengenai Allah yang Esa, yang tak terbayangkan dan
yang menuntut hidup bermoral tinggi. Tetapi, mereka tidak ingin menjadi bagian
dari orang Yahudi karena tidak mau menerima sunat.
Petrus mengalami
kebingungan ketika harus melakukan pendekatan dengan perwira Romawi ini hingga
ia mendapatkan vision, yakni tentang sebuah taplak yang turun dari surga dan
penuh dengan binatang yang haram, disertai ajakan untuk makan hidangan
tersebut. Petrus baru mau menerima kehadiran Kornelius setelah tiga kali
menerima vision itu dan ia pun menjelaskan tentang kemustahilan seorang Yahudi
bergaul dengan orang non-Yahudi, apalagi masuk rumah mereka (10:28). Apabila
seorang Yahudi memasuki rumah orang yang tidak memenuhi tuntutan ritual,
apalagi makan dengan mereka, maka menurut tradisi atau paham Farisi, ia telah
kehilangan kesuciannya dan hanya dapat dipulihkan lewat upacara pentahiran.
Melalui peristiwa ini,
Petrus mendapat pencerahan bahwa ia tidak boleh menyebut orang lain yang
non-Yahudi sebagai najis atau tidak tahir. Paradigma Petrus mengalami perubahan
total. Sebagai umat Allah ia tidak boleh membeda-bedakan manusia yang satu
dengan yang lain, semua punya hak yang sama untuk mendapat perhatian dan
kepedulian.
Pesan dari kita di
atas sangat penting dan relevan dalam konteks Indonesia yang hidup dalam
keberagaman keagamaan. Dalam perjumpaan ini, pertama, Petrus menyadari bahwa
kasih Allah berlaku bagi semua umat manusia yang mencari Dia dengan segenap
hati. Jadi jelas bagi kita sekarang, perjumpaan dengan orang-orang yang
memiliki agama dan kebudayaan lain akan mengubah paham kita akan Injil. Kedua,
mau menerima keberadaan orang yang berbeda kebudayaan.
Ketiga, perlu
keberanian untuk melakukan peruntuhan tembok-tembok pemisah sekaligus
menciptakan keterbukaan dan kerelaan dari ke dua belah pihak untuk melakukan
dialog antar agama yang mengarah pada persahabatan dan kerja sama menyelesaikan
permasalahan yang terjadi di sekitarnya.
Setiap manusia dalam
kehidupannya tidak dapat terlepas dari budaya yang telah membentuknya, oleh
karena itu bila ada seseorang yang disentuh oleh Injil, maka dalam hidup
budayanya, adat istiadatnya akan tetap bersamanya. Injil dalam kuasa
pembebasannya tidak mengubah seseorang menjadi orang asing dari budayanya.
Kebudayaan adalah pola
hidup manusia dalam kelompok, jadi kebudayaan itu dihayati dan diamalkan dalam
hubungan dengan sesama anggota kelompok atau komunitas. Iman sebagai relasi
yang lebih berdimensi vertikal, dihayati dan diamalkan dalam dimensi
horizontal. Sebaliknya kebudayaan yang lebih berdimensi horizontal, tidak dapat
dilepaskan dari dimensi vertikal. Bahkan iman dapat diinterpretasikan sebagai
sumber dan dasar kebudayaan, sedangkan kebudayaan itu sering diidentikkan
dengan agama yang berdimensi vertikal.
Injil dan budaya
sangat penting karena sama-sama mengklaim kewibawaan atas seluruh kenyataan,
jadi tidak ada domain wilayah yang terpisah-pisah, karena seluruh kenyataan
adalah seluruh wilayah kebudayaan. Budaya pada hakikatnya bicara tentang
seluruh hidup manusia. Semua disentuh oleh agama dan budaya, mulai dari
pakaian, makanan, musik, bacaan, film, istri, suami, anak, olahraga, ekonomi,
politik, teknik dan lain lain.
Karena budaya
menyangkut seluruh hidup manusia, maka sering kali terjadi gesek-menggesek
antara budaya dan agama, yang bertambah kompleks lagi karena agama sendiri juga
memiliki budayanya.
Seorang Batak yang
Kristen misalnya, akan selalu mempunyai dua identitas itu di dalam dirinya dan keduanya
haruslah terintegrasi, artinya seorang Batak adalah sungguh seorang Batak
ketika ia melakukan habitus yang lengkap dilakukan oleh orang Batak dengan
segala simbol-simbol yang dipahami dalam tradisi Batak, jadi tidak ada Batak
minus tradisi atau kebiasaan tertentu.
Karena itu integrasi
dalam budaya dan integrasi dalam kekristenan menjadi sangat penting, sehingga
seluruh komponen perlu dipertahankan. Injil dari awal selalu mengajarkan orang
untuk kreatif, demikian juga iman Kristen perlu selalu kreatif dalam
perkembangannya. Kreativitas ini akan menjadikan orang Kristen berani memahami
budayanya secara baru dari sudut pandang iman.
Misalnya pada masa
Natal, pohon Natal adalah tradisi penyembahan berhala dewa matahari yang
dirayakan setiap tanggal 25 Desember, tapi kemudian mendapat makna yang baru,
sehingga orang Kristen tidak merayakan kelahiran dewa matahari, melainkan
kelahiran Yesus. Pada saat hal ini terjadi, orang tidak merasa gelisah,
sebaliknya dapat menghayati dengan khusyuk tentang kelahiran Yesus yang sangat
romantis sambil merenungkan pentingnya makna ini bagi kehidupan kristiani.
Inilah kreativitas iman, panggilan kita adalah menafsir ulang budaya dalam
terang iman Kristen. Inilah yang dilakukan ompui Nomensen. Ia tidak langsung
melakukan penginjilan, melainkan memberikan makna baru pada tradisi Batak dalam
perjumpaannya dengan Injil Yesus Kristus.
Bagaimana orang
Kristen memahami perjumpaan Injil dengan Budaya dalam Alkitab dan memberi makna
baru dalam situasi kita saat sekarang ini? Yang ekstrim adalah seperti
munculnya Jeferson Bible, yaitu Alkitab yang tipis karena semua isi yang
dianggap negatif seperti ayat atau perikop yang rasialis, mengandung hal
perbudakan dan bertentangan dengan hak asasi manusia, dihapuskan. Cara kedua
adalah dengan menafsirkan teks itu secara baru dan bukan hanya yang tersurat,
kemudian berusaha menemukan prinsip yang tersirat di balik teks itu.
Berdasarkan hal ini maka dilakukan penafsiran baru dari teks-teks yang sudah
tidak lagi dapat diberlakukan sekarang ini. Hal ini dilakukan oleh GKI, karena
itu GKI mempunyai ajaran yang berkembang terus dan selalu aktual mencoba
menanggapi perubahan yang terjadi dalam Budaya, misalnya GKI dengan konsekuen
menekankan equality (kesamaan peran pria dan wanita).
Contoh konkret dari Perjanjian Lama
Kej. 2:18 TUHAN Allah berfirman: “Tidak baik,
kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang
sepadan dengan dia.”
Kej. 2:21 Lalu TUHAN Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur,
TUHAN Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu
dengan daging.
Kita harus memahami
dengan baik bahwa penulis Alkitab dengan latar belakang budaya tertentu, diberi
kebebasan untuk mengekspresikan tulisannya. Misalnya penulis kitab Kejadian
berlatar belakang budaya patriarkat (budaya di mana lelaki mempunyai kedudukan
lebih tinggi dari perempuan). Dalam tulisannya pasti ia lebih menonjolkan
lelaki. Misalnya sosok perempuan digambarkan berasal dari salah satu rusuk
lelaki (Kejadian 2:21), dengan demikian keberadaan perempuan lebih rendah dari
lelaki. Padahal dalam Kejadian 2:18, perempuan diciptakan Tuhan untuk menjadi
penolong yang sepadan.
Dalam konteks saat
sekarang ini, pemikiran yang membedakan posisi lelaki dan perempuan tidak lagi
dapat diterima, karena itu para penafsir mempelajari kembali teks Alkitab untuk
menemukan makna baru yang relevan untuk kondisi saat ini. Maka ditemukanlah
bahwa ternyata dalam bahasa Ibrani, kata “penolong” adalah “asyer.” Dalam
Alkitab, kata asyer hanya dipakai oleh Allah. Jadi untuk menggambarkan manusia
yang menolong manusia lain, tidak dipakai kata ini. Yang kedua, inilah
satu-satunya pengecualian dalam teks yang dikenakan pada perempuan. Jadi
perempuan sebagai penolong adalah representasi dari Allah yang akan menjadi
penolong manusia, laki-laki itu. Dengan penafsiran seperti ini posisi wanita
menjadi di atas lelaki atau paling tidak sama.
Resistensi dan Penerimaan
Ada dua sikap yang
ekstrim terhadap Budaya yaitu Resistensi dan Penerimaan.
Resistensi adalah
sikap yang sama sekali menolak budaya. Semua patung, pakaian adat, ulos,
artefak kuno, adat beserta simbol-simbolnya tidak boleh ada di Gereja maupun di
rumah orang Kristen. Sikap seperti itu ada baiknya, karena selalu waspada
terhadap budaya-budaya yang dapat merusak, seperti budaya menindas perempuan,
budaya penghamburan uang untuk suatu pesta adat sampai harus berutang. Tapi di
pihak lain, penolakan total ini juga merugikan penginjilan, sebab budaya sering
kali menjadi jalan masuk dan jembatan yang paling baik untuk memperkenalkan
Injil kepada semua orang.
Penerimaan adalah
sikap menerima semua budaya, dan dengan mudah berkata bahwa kebudayaan adalah
produk luhur kemanusiaan. Sikap seperti ini juga membahayakan, karena tanpa
sikap kritis, orang terlalu mudah mengompromikan Injil dengan Budaya, sehingga
berita Injil sering kali menjadi kabur.
Sikap yang baik adalah
1.
Kita harus mempelajari
sehingga mempunyai pemahaman yang mendalam tentang kebudayaan kita, jangan
semena-mena menolak begitu saja.
2.
Kita harus mempelajari
sehingga mempunyai pemahaman yang benar dan mendalam tentang Injil. Dengan
demikian akan dihasilkan penafsiran ulang yang relevan dengan perubahan Budaya
lokal.
3.
Kita harus menerima
Budaya dengan cara yang luhur, tapi juga sekaligus mengkritisinya dengan
sungguh-sungguh karena kebudayaan pada satu sisi adalah ciptaan Tuhan, karena
teologi penciptaan adalah teologi kebudayaan. Budaya adalah karya agung Allah
yang harus dipelihara dengan baik sehingga tidak ada lagi pandangan dualistik
antara yang sakral dan yang duniawi, semuanya telah melebur menjadi satu.Namun
demikian, Budaya tetap harus diwaspadai karena dosa telah merusak, bukan hanya
manusia secara personal, namun juga struktur sosial dan kultural yang dibangun
manusia. Karena itu Budaya dalam kehidupan manusia dapat berdampak positif tapi
juga negatif. (bdk. Joas Adiprasetya–Injil dan Kebudayaan–pada Forum Diskusi
Teologi, 15 Agustus 2011, GKI Pondok Indah/di rubrik Teropong Kasut edisi 80/http://gkipi.org/injil-dan-kebudayaan-konflik-kompromi-atau-kolaborasi/)
Perjumpaan Injil dan
Budaya dalam perkembangannya memerlukan perhatian yang serius karena menyangkut
kehidupan, khususnya generasi muda yaitu bagaimana mereka sanggup mencermati
dan sekaligus mengkritisi perjumpaan yang sangat memengaruhi kehidupan aktual
saat ini.
Kembali pada awal
tulisan di atas, perjumpaan antara Injil dan Budaya atau Agama dan Budaya,
ternyata menjadi pergumulan dari setiap orang beragama dalam upaya mendapatkan
isi yang relevan untuk memecahkan permasalahan yang muncul dan terus
berkembang.
Sebagai kesimpulan,
ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam relevansinya terhadap situasi di
Indonesia, yaitu:
1.
Perlu diupayakan untuk
mencari dasar pemikiran yang sama di antara agama-agama yang mengarah kepada
suatu kerja sama guna menyelesaikan permasalahan bangsa yang sedang dihadapi
bersama.
2.
Menghilangkan sikap
saling curiga-mencurigai, sehingga dapat diadakan dialog persahabatan yang
terbuka satu sama lain.
3.
Memberi makna baru
terhadap perkembangan Budaya dengan memahami Budaya itu sebaik-baiknya,
kemudian melakukan penafsiran ulang terhadap pemikiran teologis yang tidak
relevan lagi.
4.
Melakukan “dialog
kehidupan,” suatu dialog yang bertujuan untuk saling mengenal dan mengarah pada
persahabatan, dan berdasarkan pada keterbukaan satu sama lain, tanpa sikap
saling curiga.
Pdt. Tumpal Tobing