All parts of the human body get tired
eventually–except the tongue.
Konrad Adenauer
Bahasa Lidah: Syibolet dalam Kekristenan
Bahasa lidah
(glossolalia, speaking in tongues) pada masa kini telah menjadi sebuah syibolet
di dalam kekristenan modern, khususnya di kalangan Protestantisme. Kata
syibolet muncul di dalam tragedi perang antara suku Efraim dan orang-orang
Gilead pada masa pemerintahan Yefta (Hak. 12:4-6).
Ketika penduduk Efraim
kalah dalam perang itu, mereka berusaha lari dengan menyeberangi Sungai Yordan,
padahal orang-orang Gilead menjaga tempat-tempat penyeberangan sungai itu.
Kepada setiap orang yang hendak menyeberang, para penjaga dari kelompok Gilead
memaksanya berkata syibolet (yang artinya: “arus yang mengalir”). Orang-orang
Efraim memang memiliki dialek yang tidak memungkinkan mereka untuk mengatakan
syibolet namun sibolet (yang artinya: “kuping jagung”). Jika seseorang
mengatakan syibolet (artinya, ia bukan orang Efraim), selamatlah ia. Namun,
jika orang itu mengatakan sibolet (artinya, ia seorang Efraim), disembelihlah
ia.
Kitab Cinta Kasih kita
mencatat, “Pada waktu itu tewaslah dari suku Efraim empat puluh dua ribu orang”
(ay. 6). Kini, kata syibolet menjadi sebuah penanda linguistik untuk menentukan
identitas seseorang–siapa “kami” dan siapa “mereka.”
Bahasa lidah agaknya
juga sudah menjadi syibolet di dalam kekristenan. Dulu, ketika pentakostalisme
mulai muncul, mereka yang berbahasa lidah dianggap sesat; kini bahasa lidah
dipergunakan justru oleh orang-orang pentakostal dan karismatik untuk mengklaim
bahwa mereka yang tidak bisa berbahasa lidah bukanlah orang Kristen yang
sejati.
Di kalangan
pentakostal sendiri sesungguhnya banyak pandangan yang beragam sehubungan
dengan pertanyaan, apakah bahasa lidah “wajib” dimiliki orang-orang Kristen
yang telah mengalami “baptisan Roh.” Sebagian besar menyatakan bahwa bahasa
lidah (atau mereka menyebutnya “bahasa Roh”) merupakan tanda pasti bagi
baptisan Roh (misalnya di dalam pengakuan iman GBI). Sebagian kecil mulai
mengambil sikap lunak dengan menyatakan bahwa mereka percaya pada “baptisan Roh
Kudus yaitu kepenuhan Roh Kudus dengan tanda berkata-kata dalam berbagai bahasa
sebagaimana diilhamkan oleh Roh Kudus dan diterima oleh orang percaya, bertobat
dan lahir baru” (Pengakuan Iman GpdI), dengan menyuratkan bahwa “berbagai
bahasa itu” mencakup bahasa lidah. Sebagian malah sama sekali tidak
mencantumkan bahasa lidah dalam pengakuan iman mereka (misalnya GSJA).
Dengan semangat untuk
menghindari s[y]iboletisme ini, bagaimana GKI perlu memahami isu bahasa lidah?
Bagaimana Alkitab memberi kesaksian mengenai gejala ini? Mempertanyakan
fenomena bahasa lidah dalam terang Alkitab merupakan cara awal terbaik untuk
mengambil sikap atas fenomena ini.
GLOSSOLALIA: STUDI KATA
Kata Yunani glossolalia merupakan gabungan dua kata glossa (lidah) dan laleo (berbicara). Kata laleo sendiri di dalam Alkitab tidak pernah dipergunakan terlepas dari glossa. Kata Yunani glossa (pl. glossais) muncul di dalam Alkitab sebanyak 50 kali hanya untuk dua arti saja, yaitu organ tubuh manusia di dalam mulut (biologis) dan bahasa yang dipakai oleh sebuah kelompok budaya (linguistik). Ketika dipakai dalam pengertian kedua, maka selalu yang dimaksud adalah bahasa yang dikenali di dunia ini.
Kata Yunani glossolalia merupakan gabungan dua kata glossa (lidah) dan laleo (berbicara). Kata laleo sendiri di dalam Alkitab tidak pernah dipergunakan terlepas dari glossa. Kata Yunani glossa (pl. glossais) muncul di dalam Alkitab sebanyak 50 kali hanya untuk dua arti saja, yaitu organ tubuh manusia di dalam mulut (biologis) dan bahasa yang dipakai oleh sebuah kelompok budaya (linguistik). Ketika dipakai dalam pengertian kedua, maka selalu yang dimaksud adalah bahasa yang dikenali di dunia ini.
Untuk menjelaskan kata
kerja “berbicara” secara umum Alkitab memakai kata lain, seperti lego, eiro,
apangello, anangello, diegeomai, exegeomai, dan sebagainya. Jadi, memang, laleo
secara khusus dimaksudkan sebagai kata yang digabungkan dengan glossa (menjadi
glossolalia) untuk menunjuk pada fenomena bahasa lidah. Kata laleo itu sendiri
muncul dalam literatur Yunani non-Alkitab untuk menunjuk pada percakapan yang
santai dan tak jelas (inarticulate chatting).
Pemunculan bahasa
lidah di dalam Perjanjian Baru hanya ada di dalam Kisah Para Rasul 2:4, 11, 26;
10:46; 19:6 dan 1 Korintus 12-14. Ia muncul sekali lagi di dalam Markus 16:17,
“berbicara dalam bahasa-bahasa yang baru” (glossais lalesousin kainais), namun
ayat ini termasuk ke dalam penutup Injil Markus yang ditambahkan di kemudian
hari, yang tidak terdapat di dalam naskah-naskah yang lebih kuno.
Jadi, singkatnya,
bahasa lidah menjadi fenomena gereja perdana di dalam Kisah Para Rasul dan
menjadi kasus yang melibatkan perpecahan jemaat Korintus.
Patut dicatat bahwa
istilah atau frasa “bahasa Roh” tidak pernah muncul di teks asli Alkitab
berbahasa Yunani. Namun, Terjemahan Baru LAI memang memilih untuk menerjemahkan
“bahasa lidah” (glossolalia) dengan “bahasa Roh.”
PERISTIWA PENTAKOSTA DAN BAHASA LIDAH
Bahasa lidah sebagai karunia rohani pertama kali dijumpai di dalam kisah Pentakosta, sebagaimana dicatat di dalam Kisah Para Rasul 2. Untuk itu, mari kita lihat lebih dalam Kisah Para Rasul 2:3-11.
Bahasa lidah sebagai karunia rohani pertama kali dijumpai di dalam kisah Pentakosta, sebagaimana dicatat di dalam Kisah Para Rasul 2. Untuk itu, mari kita lihat lebih dalam Kisah Para Rasul 2:3-11.
[3] dan tampaklah kepada mereka lidah-lidah
(glossai) seperti nyala api yang bertebaran dan hinggap pada mereka
masing-masing. [4] Maka penuhlah mereka dengan Roh Kudus, lalu mereka mulai berkata-kata
dalam bahasa-bahasa lain (heterais glossais), seperti yang diberikan oleh Roh
itu kepada mereka untuk mengatakannya. [5] Waktu itu di Yerusalem diam
orang-orang Yahudi yang saleh dari segala bangsa di bawah kolong langit. [6]
Ketika turun bunyi itu, berkerumunlah orang banyak. Mereka bingung karena
mereka masing-masing mendengar rasul-rasul itu berkata-kata dalam bahasa
(dialekto) mereka sendiri. [7] Mereka semua tercengang-cengang dan heran, lalu
berkata: “Bukankah mereka semua yang berkata-kata itu orang Galilea? [8]
Bagaimana mungkin kita masing-masing mendengar mereka berkata-kata dalam bahasa
(dialekto) kita sendiri, yaitu bahasa yang kita pakai di negeri asal kita: [9]
kita orang Partia, Media, Elam, penduduk Mesopotamia, Yudea dan Kapadokia,
Pontus dan Asia, [10] Frigia dan Pamfilia, Mesir dan daerah-daerah Libia yang
berdekatan dengan Kirene, pendatang-pendatang dari Roma, [11] baik orang Yahudi
maupun penganut agama Yahudi, orang Kreta dan orang Arab, kita mendengar mereka
berkata-kata dalam bahasa kita sendiri (auton tais hemeterais glossais) tentang
perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan Allah.”
Jelaslah bahwa
prototipe dan paradigma utama bahasa lidah dalam peristiwa Pentakosta adalah
bahasa asing yang dikenali di dunia ini. Para murid, orang-orang sederhana itu,
kini diberi karunia rohani oleh Roh Kudus yang satu dalam bentuk lidah-lidah
api yang majemuk (ay. 3), hingga mereka dapat berbicara “tentang
perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan Allah” yang satu itu (ay. 11) kepada
banyak bangsa, sesuai dengan bahasa mereka masing-masing. Bahkan, mereka yang
berasal dari bangsa dan dengan bahasa yang sama, namun dengan dialek yang
berbeda (Frigia dan Pamfilia) dapat mendengarkan dan memahami Injil di dalam
dialek lokal mereka.
Singkatnya, karunia
bahasa lidah diberikan kepada para murid dalam rangka pemberitaan Injil kepada
segala bangsa, sebagaimana yang diperintahkan oleh Yesus sendiri sebelum Ia
naik ke surga, “Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas
kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan
Samaria dan sampai ke ujung bumi” (Kis. 1:8). Sebagian orang dari “ujung bumi”
itu hadir di dalam peristiwa Pentakosta dan mendengarkan kesaksian para murid.
Juga, daftar
asal-muasal orang yang hadir saat itu disengaja oleh Lukas (penulis Kisah Para
Rasul) untuk menandaskan bahwa bahasa yang keluar dari mulut para murid (bahasa
lidah) adalah bahasa yang dikenali, bukan bahasa tak-berstruktur yang selama
ini kita dengar berlangsung di banyak kalangan pentakostal.
Singkatnya,
glossolalia (bahasa lidah) di dalam peristiwa Pentakosta adalah xenolalia
(bahasa asing).
Di dalam Kisah Para
Rasul 10:42-47, setelah Petrus menerima penglihatan tentang makanan yang halal,
dicatat demikian:
[42] Dan Ia telah menugaskan kami memberitakan
kepada seluruh bangsa dan bersaksi, bahwa Dialah yang ditentukan Allah menjadi
Hakim atas orang-orang hidup dan orang-orang mati… [44] Ketika Petrus sedang
berkata demikian, turunlah Roh Kudus ke atas semua orang yang mendengarkan
pemberitaan itu. [45] Dan semua orang percaya dari golongan bersunat yang
menyertai Petrus, tercengang-cengang, karena melihat, bahwa karunia Roh Kudus
dicurahkan ke atas bangsa-bangsa lain juga, [46] sebab mereka mendengar
orang-orang itu berkata-kata dalam bahasa roh dan memuliakan Allah. Lalu kata
Petrus: [47] “Bolehkah orang mencegah untuk membaptis orang-orang ini dengan
air, sedangkan mereka telah menerima Roh Kudus sama seperti kita?”
Jadi, dalam rangka
tugas pemberitaan Injil kepada seluruh bangsa (ay. 42), karunia Roh dalam
bentuk bahasa lidah diberikan. Ketika Roh Kudus turun pada saat itu (ay. 44),
persis ketika peristiwa Pentakosta terjadi, orang-orang Yahudi yang bersunat
takjub melihat kenyataan bahwa karunia Roh diberikan juga kepada bangsa-bangsa
lain (ay. 45), “sebab mereka mendengar orang-orang itu berkata-kata dalam
bahasa Roh” (ay. 46). Mereka mengenali bahasa lidah tersebut, karena mereka
percaya bahwa orang-orang non-Yahudi itu “telah menerima Roh Kudus sama seperti
kami” (ay. 47), sama seperti yang mereka alami saat peristiwa Pentakosta
perdana.
Kita bisa menyimpulkan
bahwa, [1] di dalam Kisah Para Rasul, bahasa lidah adalah bahasa asing yang
dikenali di dunia dan dapat dideteksi oleh orang yang memiliki bahasa tersebut.
Selain itu, [2] bahasa lidah secara jelas muncul selalu dalam kaitan dengan
kehadiran Roh Kudus, yaitu ketika seseorang dipenuhi oleh Roh Kudus.
Selanjutnya, [3] bahasa lidah muncul dalam konteks pekabaran Injil. Akhirnya,
[4] bahasa lidah di dalam dua teks Kisah Para Rasul menghasilkan pujian kepada
Allah; mereka memuji Allah untuk “perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan
Allah” (Kis. 2:11) dan mereka “memuliakan Allah” (Kis. 10:46).
Kasus ketiga di dalam
Kisah Para Rasul muncul di 19:6, “Dan ketika Paulus menumpangkan tangan di atas
mereka, turunlah Roh Kudus ke atas mereka, dan mulailah mereka berkata-kata
dalam bahasa roh dan bernubuat.” Sekali lagi, bahasa lidah dikaitkan dengan
kehadiran Roh Kudus. Dan sama seperti kedua teks sebelumnya, kita bisa
menyimpulkan bahwa [5] bahasa lidah berfungsi untuk menegaskan, memvalidasi
atau membuktikan kuasa dan kehadiran Roh Kudus, bukan untuk mengajar atau
membangun iman.
BAHASA LIDAH DI JEMAAT KORINTUS
Bahasa lidah dibahas oleh Paulus baru pada pasal 12 di suratnya yang pertama kepada jemaat di Korintus. Yang menarik, saat jemaat ini dibentuk (Kis. 18) tidak ada catatan sama sekali tentang terjadinya fenomena bahasa lidah. Suasana perpecahan jemaat akibat persaingan spiritual di antara anggota jemaat Korintus sangat kental terasa sejak awal surat ini.
[10] Tetapi aku menasihatkan kamu,
saudara-saudara, demi nama Tuhan kita Yesus Kristus, supaya kamu seia sekata
dan jangan ada perpecahan di antara kamu, tetapi sebaliknya supaya kamu erat
bersatu dan sehati sepikir. [11] Sebab, saudara-saudaraku, aku telah
diberitahukan oleh orang-orang dari keluarga Kloe tentang kamu, bahwa ada
perselisihan di antara kamu. (1Kor. 1:10-11)
Persaingan spiritual
itu mewujud ke dalam beberapa bentuk konflik, misalnya, mempertandingkan
pemimpin mereka masing-masing (kelompok Paulus, kelompok Apolos, dan lain-lain)
atau mempertandingkan karunia rohani yang mereka terima, khususnya antara
karunia yang tampaknya supranatural (bahasa lidah, menyembuhkan dan sebagainya)
dan karunia yang tampaknya natural (menasihati, memimpin dan sebagainya).
Parahnya keadaan
jemaat Korintus agaknya mencerminkan parahnya kota Korintus secara umum.
“Korintus” berasal dari kata Yunani Korinthiazomai yang berarti “mempraktikkan
perzinahan.” Korintus adalah kota perdagangan dan pelabuhan yang besar yang
sekaligus menjadi pusat penyembahan Venus dan Afrodit, dengan ribuan pelacur
sakralnya. Praktik penyembahan dewa-dewi ini, menurut banyak ahli, menjadi
latar-belakang ditekankannya bahasa lidah di jemaat Korintus, sebab penyembahan
dewa-dewi tersebut juga mempraktikkan orakel-orakel bagi para dewa-dewi, baik
oleh imam laki-laki maupun imam-imam perempuan (bdk. 1Kor. 12:2).
Di dalam 1 Korintus
12:8-10, Paulus mendaftarkan sembilan karunia rohani. Akan tampak dengan jelas
bahwa bahasa lidah menempati urutan yang paling akhir, bersama dengan karunia
menafsirkan bahasa lidah. Ini menunjukkan kurang pentingnya karunia bahasa
lidah untuk pembangunan jemaat Allah. Hal ini makin tampak, jika kita
membandingkannya dengan daftar karunia yang diberikan Paulus di dalam Roma
12:6-8, yang sama sekali tidak mencantumkan bahasa lidah. Hal ini
mengindikasikan bahwa memang tak ada anggota jemaat di kota Roma yang
memperoleh karunia bahasa lidah; atau, bisa juga ada kemungkinan fenomena
bahasa lidah sudah hilang pada waktu itu. Selain itu, di 1 Korintus 12:28,
Paulus menetapkan fungsi-fungsi di dalam jemaat dengan skala dari yang
terpenting sampai yang tidak penting.
Ada rupa-rupa karunia, tetapi satu Roh. Dan
ada rupa-rupa pelayanan, tetapi satu Tuhan. Dan ada berbagai-bagai perbuatan
ajaib, tetapi Allah adalah satu yang mengerjakan semuanya dalam semua orang.
Tetapi kepada tiap-tiap orang dikaruniakan penyataan Roh untuk kepentingan
bersama. (1Kor. 12:4-7)
|
Sebab sama seperti pada satu tubuh kita
mempunyai banyak anggota, tetapi tidak semua anggota itu mempunyai tugas yang
sama, demikian juga kita, walaupun banyak, adalah satu tubuh di dalam
Kristus; tetapi kita masing-masing adalah anggota yang seorang terhadap yang
lain. (Ro. 12:4-5)
|
Memang ada banyak anggota, tetapi hanya satu
tubuh… Kamu semua adalah tubuh Kristus dan kamu masing-masing adalah
anggotanya. (1Kor. 2:20, 27)
|
1 Korintus 12:8-10
|
Roma 12:6-8
|
1 Korintus 12:28
|
1.
Berkata-kata dengan
hikmat
2.
Berkata-kata dengan
pengetahuan
3.
Iman
4.
Menyembuhkan
5.
Mengadakan mukjizat
6.
Bernubuat
7.
Membedakan
bermacam-macam roh
8.
Berkata-kata dengan
bahasa Roh
9.
Menafsirkan bahasa
Roh
|
1.
Bernubuat
2.
Melayani
3.
Mengajar
4.
Menasihati
5.
Membagi-bagikan
sesuatu
6.
Memberi pimpinan
7.
Menunjukkan
kemurahan
|
1.
Rasul
2.
Nabi
3.
Pengajar
4.
Pembuat mukjizat
5.
Penyembuh
6.
Pelayan
7.
Pemimpin
8.
Pembahasa Roh
|
Dari daftar di atas
kita melihat bahwa memang bahasa lidah merupakan karunia yang khas di jemaat
Korintus, itu pun dengan prioritas terendah. Tak ada indikasi bahwa
jemaat-jemaat lain yang didirikan Paulus mendapatkan bahasa lidah atau
bermasalah dengan karunia ini. Menarik juga untuk dipahami bahwa setiap kali
Paulus berbicara mengenai kemajemukan dan keberagaman karunia, Ia meletakkannya
dalam konteks kesatuan jemaat dan manfaat karunia-karunia itu bagi pembangunan
tubuh Kristus. Kini, mari kita teliti lebih dalam pandangan Paulus mengenai
bahasa lidah di dalam 1 Korintus 12-14.
1 Korintus12: Bahasa Lidah di Tempat Terbawah
Pasal 12 membahas bahasa lidah hanya di dua bagian yang sudah dibahas di atas, yaitu saat Paulus memasukkannya ke dalam daftar sembilan karunia rohani (ay. 8-10) dan daftar fungsi jemaat (ay. 28). Di dalam kedua daftar itu, bahasa lidah menempati urutan kepentingan paling akhir.
Pasal 12 membahas bahasa lidah hanya di dua bagian yang sudah dibahas di atas, yaitu saat Paulus memasukkannya ke dalam daftar sembilan karunia rohani (ay. 8-10) dan daftar fungsi jemaat (ay. 28). Di dalam kedua daftar itu, bahasa lidah menempati urutan kepentingan paling akhir.
Patut diberi catatan
khusus bahwa di ayat 10 dan 28, Paulus sebenarnya memakai frasar gene glosson,
yang berarti “bermacam-macam bahasa.” Hal ini makin menandaskan keyakinan kita
bahwa bahasa-bahasa lidah di jemaat Korintus juga adalah bahasa-bahasa yang
dikenal di dunia, bukan serangkaian ucapan yang tak dapat dipahami, sebagaimana
dipraktikkan oleh banyak orang Kristen masa kini. Ada banyak bahasa di dunia
ini (gene glosson), namun semua adalah bahasa, sama seperti ada banyak jenis
(genus) burung, namun semuanya adalah burung. Namun, “burung besi” alias
pesawat terbang tidak termasuk ke dalam keluarga burung, bukan?
1 Korintus13: Bahasa Lidah Berakhir
Pasal 13 menjadi kunci untuk memahami fenomena bahasa lidah. Inti pasal ini bukan bahasa lidah, namun kasih. Paulus mulai dengan menegaskan bahwa “sekalipun” (Paulus membuat sebuah pengandaian di sini) ia bisa berbicara dengan semua bahasa manusia dan bahkan bahasa malaikat, semuanya sia-sia tanpa adanya kasih. Paulus sama sekali tidak menyamakan bahasa lidah dengan bahasa malaikat. Bahkan, dalam Kitab Suci, bahasa malaikat pun bisa dipahami oleh manusia, karena memang tugas utama malaikat, sesuai namanya (aggelos), adalah menjadi pembawa warta. Pesan utama Paulus dengan ayat ini sebenarnya adalah, semua bahasa itu sia-sia tanpa kasih.
Pasal 13 menjadi kunci untuk memahami fenomena bahasa lidah. Inti pasal ini bukan bahasa lidah, namun kasih. Paulus mulai dengan menegaskan bahwa “sekalipun” (Paulus membuat sebuah pengandaian di sini) ia bisa berbicara dengan semua bahasa manusia dan bahkan bahasa malaikat, semuanya sia-sia tanpa adanya kasih. Paulus sama sekali tidak menyamakan bahasa lidah dengan bahasa malaikat. Bahkan, dalam Kitab Suci, bahasa malaikat pun bisa dipahami oleh manusia, karena memang tugas utama malaikat, sesuai namanya (aggelos), adalah menjadi pembawa warta. Pesan utama Paulus dengan ayat ini sebenarnya adalah, semua bahasa itu sia-sia tanpa kasih.
Dengan tegas Paulus
menyatakan bahwa beberapa karunia rohani akan lenyap (bahasa lidah, nubuat,
pengetahuan [spiritual]), yaitu ketika yang sempurna tiba (ay. 8-9). Hal ini
sangat wajar, seperti juga perkembangan seorang manusia dari kanak-kanak
menjadi dewasa (ay. 10). Pembedaan anak-anak dan dewasa, bagi Paulus, adalah
bahwa orang dewasa hidup bagi orang lain (bdk. 1Kor. 14:20). Dengan kata lain,
mengejar dan mengutamakan yang tak utama (bahasa lidah) adalah tanda
ketidakdewasaan!
Pertanyaannya, apakah
yang dimaksud dengan sempurna (teleios: utuh, tak memerlukan hal-hal lain
lagi)? Pandangan para pengguna bahasa lidah adalah bahwa yang sempurna itu
menunjuk pada “kedatangan Yesus yang kedua.” Pandangan ini bermasalah, sebab
dipaksakan (inference) masuk ke teks yang sama-sekali tidak berbicara tentang
kedatangan Kristus.
Pandangan kedua
menyatakan bahwa yang sempurna itu adalah lengkapnya kanon Alkitab. Namun, ini
pun tidak diberi pendasaran cukup kuat di dalam teks 1 Korintus 13.
Pandangan ketiga, yang
lebih saya sepakati, adalah bahwa yang sempurna atau utuh itu dikatakan oleh
Paulus pada ayat 13, “Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman,
pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih.”
Artinya, ketiga hal
yang paling penting (“tinggal ketiga hal ini”) adalah iman, harap dan kasih.
Seseorang disebut Kristen karena ketiga hal mendasar ini. Sebaliknya, seseorang
tetap bisa menjadi Kristen tanpa harus bernubuat atau berbahasa lidah.
Dan yang paling besar
dari ketiganya adalah kasih! Maka, menyombongkan bahasa lidah dan menyatakan orang
lain yang tidak bisa berbahasa lidah sebagai orang Kristen yang tidak beriman,
justru berlawanan dengan kasih yang salah satu cirinya adalah “tidak memegahkan
diri dan tidak sombong” (ay. 4).
1 Korintus 14: Pengaturan Bahasa Lidah
Di dalam pasal 14, Paulus bahkan mengatur pemakaian bahasa lidah. Sudah sangat jelas, pertama-tama, bahwa bagi Paulus karunia nubuat (yang juga akan berakhir) itu lebih penting daripada karunia berbahasa lidah (ay. 1, 5-6, 39). Ukurannya jelas: bernubuat dapat membangun jemaat (ay. 3-5, 12, 26). Bahasa lidah bisa membangun jemaat hanya jika ada yang menafsirkannya, entah orang lain atau dia yang berbahasa lidah itu sendiri (ay. 5, 13, 26-28).
Di dalam pasal 14, Paulus bahkan mengatur pemakaian bahasa lidah. Sudah sangat jelas, pertama-tama, bahwa bagi Paulus karunia nubuat (yang juga akan berakhir) itu lebih penting daripada karunia berbahasa lidah (ay. 1, 5-6, 39). Ukurannya jelas: bernubuat dapat membangun jemaat (ay. 3-5, 12, 26). Bahasa lidah bisa membangun jemaat hanya jika ada yang menafsirkannya, entah orang lain atau dia yang berbahasa lidah itu sendiri (ay. 5, 13, 26-28).
Itu sebabnya, Paulus
mengatur pemakaian bahasa lidah di dalam pertemuan jemaat (ay. 27-28), yaitu
bahwa [1] hanya dua atau tiga orang yang berbahasa lidah, [2] bergantian, serta
[3] harus ada yang menafsirkan. Juga, [4] jika tak tersedia penafsir, maka
mereka yang berbahasa lidah harus berdiam diri.
Prinsip dasarnya jelas
sekali, yaitu semuanya harus membangun jemaat, tidak menimbulkan kekacauan
namun damai sejahtera (ay. 33) dan bahwa pertemuan jemaat “harus berlangsung
dengan sopan dan teratur” (ay. 40).
Ada dua catatan
penting di sini. Pertama kata “menafsir” atau “penafsir” tidak boleh dipahami
sebagai tindakan atau seseorang yang “menemukan makna” dari bahasa lidah (to
expound), namun “menerjemahkan” (to interpret, to translate).
Jadi karunia
menafsirkan bahasa lidah adalah karunia menerjemahkan dari satu bahasa asing
yang diucapkan seseorang ke bahasa yang dipakai oleh jemaat. Itu sebabnya, jika
seseorang mengucapkan sebuah bahasa asing di tengah-tengah jemaat dan tak
seorang pun menerjemahkannya, maka ucapannya tak dimengerti (ay. 2, 9-11, 19).
Hal ini makin
menguatkan pendirian kita bahwa bahasa lidah di dalam jemaat Korintus adalah
bahasa asing yang dikenal di dunia, bukan “bahasa lidah” yang banyak
dipraktikkan di masa kini. Secara khusus, Paulus mengungkapkannya di dalam ayat
10-11,
[10] Ada banyak–entah berapa banyak–macam
bahasa di dunia; sekalipun demikian tidak ada satupun di antaranya yang
mempunyai bunyi yang tidak berarti. [11] Tetapi jika aku tidak mengetahui arti
bahasa itu, aku menjadi orang asing bagi dia yang mempergunakannya dan dia
orang asing bagiku.
Kedua, banyak pengguna
bahasa lidah masa kini mengajukan argumen bahwa bahasa lidah bermanfaat untuk
membangun iman secara pribadi. Jadi, apakah memang Paulus memperbolehkan
pemakaian bahasa lidah di dalam doa pribadi? Tidak, sama sekali tidak! Paulus
memang berkata, “Siapa yang berkata-kata dengan bahasa roh, ia membangun
dirinya sendiri” (ay. 4). Namun, kita harus sungguh-sungguh memahami bahwa
konteks percakapan dari 1 Korintus 14 adalah pertemuan jemaat.
Jadi, seseorang yang
berbahasa lidah–di dalam pertemuan jemaat!–tanpa seorang pun mengerti, hanya
akan “membangun dirinya sendiri,” dalam pengertian secara negatif–sebuah sikap
memegahkan dan memuliakan diri, yang justru berlawanan dengan cinta-kasih.
Lebih dari itu, Paulus
menjelaskan bahwa bahasa lidah merupakan tanda (semeion) bagi orang yang tidak
beriman (ay. 22). Yang dimaksud dengan orang yang tidak beriman (apistos) di
sini bukanlah orang non-Kristen, namun orang Kristen yang kurang percaya (bdk.
pemakaian apistos di dalam teguran Yesus kepada Thomas; Yoh. 20:27).*1
Dengan kata lain,
mereka yang mengejar dan mengutamakan bahasa lidah, menurut Paulus, adalah
orang-orang yang kurang percaya. Mereka dapat percaya hanya karena (because of)
karunia yang spektakular agar dapat percaya. Sebaliknya, mereka yang dewasa
akan sungguh percaya sekalipun tidak ada dan terlepas dari (in spite of) tanda
spektakular apapun.
Di ayat 23, Paulus
justru mempertimbangkan orang yang kurang percaya (yang sangat mungkin tidak
memiliki karunia berbahasa lidah) yang justru akan tersandung dan menyebut
mereka yang berbahasa lidah sebagai orang gila. Dengan kata lain, Paulus hendak
menyatakan bahwa, jauh dari membangun iman jemaat, bahasa lidah justru dapat
menjadi penghalang bagi pertumbuhan iman anggota-anggota jemaat.
Kesimpulan Bahasa Lidah di dalam 1 Korintus 12-14
Jadi, dapatlah
disimpulkan beberapa hal sehubungan dengan fenomena bahasa lidah di dalam surat
1 Korintus.
1.
Bahasa lidah adalah
bahasa asing yang dikenali di dunia ini, bukan rentetan suara tanpa makna
secara linguistik.
2.
Ia merupakan salah
satu dari banyak karunia, bahkan ia adalah karunia yang paling tidak penting.
3.
Ia hanya bisa
dipraktikkan dengan berbagai pengaturan yang ketat, seperti: demi pembangunan
jemaat, dibatasi jumlah dan gilirannya, harus ada penafsir/penerjemah (harus dihentikan
jika tidak ada penafsir/penerjemah), dan sebagainya.
4.
Bahasa lidah di 1
Korintus akan lenyap, ketika iman-harap-kasih tiba dan menjadi identitas
Kristiani.
5.
Bahasa lidah di jemaat
Korintus adalah salah satu alasan dan sumber perpecahan jemaat.
6.
Bahasa lidah tidak
boleh dipraktikkan secara pribadi, namun selalu di dalam pertemuan jemaat.
7.
Bahasa lidah dapat
menjadi tanda ketidakdewasaan rohani seseorang, bahkan bisa menghalangi
pendewasaan rohani orang lain.
BAGAIMANA SEBAIKNYA SIKAP KITA?
Bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap fenomena bahasa lidah modern? Lampiran 7 Tata Gereja GKI berisi “Pegangan Ajaran GKI mengenai Gerakan Pentakosta Baru (Karismatik)” yang di butir A-nya berbicara mengenai bahasa lidah. Sayang, isinya hanya uraian pandangan Paulus saja. Tidak ditunjukkan sikap tegas GKI terhadap fenomena bahasa lidah modern. Jika demikian, bagaimana kita mengambil sikap yang lebih jelas, tegas dan bertanggung jawab? Saya menawarkan beberapa hal.
Bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap fenomena bahasa lidah modern? Lampiran 7 Tata Gereja GKI berisi “Pegangan Ajaran GKI mengenai Gerakan Pentakosta Baru (Karismatik)” yang di butir A-nya berbicara mengenai bahasa lidah. Sayang, isinya hanya uraian pandangan Paulus saja. Tidak ditunjukkan sikap tegas GKI terhadap fenomena bahasa lidah modern. Jika demikian, bagaimana kita mengambil sikap yang lebih jelas, tegas dan bertanggung jawab? Saya menawarkan beberapa hal.
1.
Agaknya kita harus
mulai dengan sebuah penyimpulan mendasar bahwa fenomena bahasa lidah masa kini
sama sekali berbeda dengan dengan fenomena bahasa lidah di zaman Alkitab.
Bahasa lidah di zaman Alkitab adalah bahasa asing (xenolalia) yang dikenali di
dunia dan dapat diverifikasi oleh ahli bahasa. Sedang bahasa lidah modern
adalah penyuaraan serentetan bunyi tanpa makna semantik sama sekali.
2.
Apakah, dengan
demikian, kita harus berkata bahwa itu bukan dari Roh Kudus? Tentu kita semua
tahu bahwa, di satu sisi, karya Roh Kudus yang bebas itu tidak bisa dibatasi.
Tetapi, di sisi lain, kita juga belajar bahwa kita harus menguji roh-roh (1Yoh.
4:1-2). Pengujian roh-roh (discretio spirituum) ini juga menjadi salah satu
karunia yang Paulus cantumkan tepat di atas bahasa lidah (1Kor. 12:8-10).Dalam
surat Yohanes itu, salah satu batu ujinya adalah “setiap roh yang mengaku,
bahwa Yesus Kristus telah datang sebagai manusia, berasal dari Allah.”
Namun–penting sekali!–saya tidak mengatakan bahwa jika demikian bahasa lidah
adalah karya ROH KUDUS. 1 Yohanes 4:1-2 tidak berbicara tentang Roh Kudus
sebagai Pribadi ilahi, namun “setiap roh” sebagai “ajaran dasar.”Atas dasar
ini, saya hendak menyatakan bahwa sejauh ajaran dasar dari gereja-gereja yang
mempraktikkan bahasa lidah tetap menyatakan pengakuan imannya pada Yesus Kristus,
maka gereja-gereja tersebut tidak bisa kita tolak dan malah harus diakui
sebagai saudara di dalam iman. Itu tidak berarti kita tidak perlu menolak
praktik bahasa lidah mereka, yang ternyata tidak sama, bahkan terkadang
berlawanan, dengan apa yang dicatat di dalam Alkitab.
3.
Lalu, apakah mungkin
Roh Kudus mengerjakan bahasa lidah modern yang berbeda dengan yang dicatat di
Alkitab? Sangat mungkin. Berbeda tidak sama dengan berlawanan. Namun,
masalahnya, kita tidak memiliki alat-bantu untuk melakukan verifikasi selain
Alkitab. Itu sebabnya, sebagian besar gereja arus utama mengambil sikap
moderat, yang ditawarkan oleh A.W. Tozer: seek not, forbid not (jangan dicari,
jangan ditolak). Namun, nasihat Tozer ini harus diperlengkapi dengan sebuah
catatan khusus, yaitu bahwa apa yang “jangan dicari dan jangan ditolak” itu
adalah bahasa lidah yang sama dengan yang dicatat di dalam Alkitab, bukan
bahasa lidah yang asing dari deskripsi Alkitab.
4.
Anda bisa juga
mengambil sikap lebih tegas lagi, demi kemaslahatan umat, yaitu menolak
sepenuhnya paham bahwa bahasa lidah masih terjadi. Ini pun memiliki landasan
biblis yang sangat kuat, selain bahwa sikap ini juga dianut oleh banyak bapa
gereja, bahkan sejak abad-abad pertama kekristenan. Sikap ini kerap disebut
cessationisme. Argumen dasar mereka lazimnya adalah bahwa bahasa lidah
diberikan Roh Kudus untuk memberitakan Injil (kasus Kisah Para Rasul), agar
para murid yang sederhana itu bisa mewartakan Injil ke semua bangsa tanpa
mempelajari bahasa-bahasa asing tersebut.Pada masa kini, bahkan tak satu pun
gereja yang mempraktikkan bahasa lidah yang tidak mendidik para misionaris
mereka yang akan bekerja di wilayah lain dengan bahasa asing yang bakal mereka
pakai.
5.
Jadi, seandainya
bahasa lidah modern memang bukan manifestasi Roh Kudus, tidak perlu secara
otomatis kita simpulkan bahwa bahasa lidah berasal dari si jahat (sekalipun
kemungkinan itu tetap harus dibuka). Ia bisa saja menjadi ekspresi
kejiwaan/psikis manusia atau tindakan yang disadari oleh manusia (memutuskan
untuk mengucapkannya atau meniru orang lain mengucapkannya). Kita perlu
mengingat bahwa di dalam Alkitab seekor keledai (milik Bileam) pun bisa diberi
karunia berbahasa asing (bahasa manusia) (Bil. 22).Juga, ternyata fenomena
bahasa lidah, baik yang mirip dengan yang digambarkan di dalam Alkitab maupun
yang mirip dengan fenomena modern itu, berlangsung di agama-agama lain.
6.
Akhirnya, yang
terpenting, adalah capailah “jalan yang lebih utama lagi” (1Kor. 12:31) yaitu
iman, harap dan kasih (1Kor. 13:13; Rm. 5:2; 1Tes. 5:8). Bahasa kasih adalah
bahasa yang terutama dalam hidup semua orang percaya.
Dan tampaklah kepada mereka lidah-lidah
seperti nyala api yang bertebaran dan hinggap pada mereka masing-masing.
(Kis. 2:3)
(Kis. 2:3)
Pdt. Joas Adiprasetya
Makalah dengan topik
Bahasa Lidah, pernah diangkat pada Forum Diskusi Teologia (FDT) GKI Pondok
Indah, 7 Februari 2011.
*1 Juga terdapat
pemakaian tiga kali kata idiotes di pasal 14 ini, yang oleh LAI diterjemahkan dengan tiga kata
yang semuanya berbeda: “orang biasa” (ay. 6), “orang luar” (ay. 23) dan “orang
baru” (ay. 24). Namun, ini masalah lain yang bisa dibicarakan di kesempatan
lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar