Total Tayangan Halaman

Kamis, 24 Oktober 2013

SEJARAH KEKRISTENAN DI INDONESIA

Kekristenan sudah ada di Indonesia dan menurut catatan ensiklopedia dicatat jelas keberadaannya pada abad ke-10 dan ke-11.[1][2] Menurut sensus penduduk tahun 2010, sekitar 5,85% dari pendudukIndonesia adalah Protestan dan sekitar 3% beragama Katolik.[3]

Sejarah (sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Kekristenan_di_Indonesia )


Jemaat Kristen misionaris di Tanah Toraja
Agama Kristen pertama kali datang ke Indonesia pada abad ke-7. Melalui gereja Assiria (Gereja Timur) yakni berdiri di dua tempat yakni,Pancur (Sekarang wilayah dari Deli Serdang) dan Barus (Sekarang wilayah dari: Tapanuli Tengah) di Sumatra (645 SM).
Sejarah kedatangan telah tercatat oleh ulama Syaikh Abu Salih al-Armini dalam bukunya dengan judul FIBA “Tadhakur Akhbar min al-Kana’is wa al-Adyar min Nawabin Mishri wa al-Iqta’aih” (Daftar berita pada gereja-gereja dan monastries di provinsi-provinsi Mesir dan sekitarnya). Daftar gereja-gereja dan monastries dari naskah asli dalam bahasa Arab dengan 114 halaman ini berisi berita tentang 707 gereja-gereja dan 181 monastries Kristen yang tersebar di sekitar Mesir, Nubia, Abysina, Afrika Barat, Spanyol, Arab dan India . Dalam bukunya (Abu Salih), tanah Indonesia masih dimasukkan dalam wilayah India (al-Hindah) [4].
Gereja Ortodoks adalah kelompok Kristen/Gereja pendatang yang menurut penelitian dari pakar-pakar sejarah dan arkeologi lama, pertama hadir dan datang ke Indoneia yang ditandai dengan/melalui kehadiran Gereja Nestorian yang merupakan corak gereja Asiria di daerahFansur (Barus), di wilayah Mandailing, Sumatera Utara. Namun menurut A.J. Butler M.A., kata Fahsûr seharusnya ditulis Mansûr, yaitu sebuah negara pada jaman kuno yang terdapat di Barat Laut India, terletak di sekitar Sungai Indus. Mansur merupakan negara paling utama yang terkenal di antara orang-orang Arab dalam hal komoditas kamfer (al-kafur).[5]
Protestanisme pertama kali diperkenalkan oleh Belanda pada abad keenam belas, sehingga terpengaruh pada ajaran Calvinisme danLutheranKatolik Roma pertama tiba pada tahun 1511 di tanah Aceh, yaitu dari Ordo Karmel, dan 1534 di kepulauan Maluku melalui orang Portugis yang dikirim untuk eksplorasi. Fransiskus Xaverius, misionaris Katolik Roma dan pendiri Ordo Yesuit bekerja di kepulauan Malukupada tahun 1546 sampai tahun 1547.
Pada 1960-an akibat anti-Komunis dan anti-Konfusianisme banyak Komunis dan Tionghoa diklaim sebagai orang Kristen, akan tetapi banyak bangsa Tionghoa yang akhirnya menerima agama Kristen dan sekarang mayoritas kalangan muda bangsa Tionghoa adalah umat Kristen. Kristen di Indonesia lebih bebas untuk menjalankan agama mereka dibandingkan dengan beberapa negara seperti RRCMalaysia, dan beberapa negara Arab. Di provinsi Papua dan Sulawesi Utara, Protestan merupakan agama mayoritas. Jumlah populasi orang Kristen juga ditemukan di sekitar danau Toba di Sumatera UtaraNusa Tenggara Timur, pedalaman Tana Toraja, dan sebagian wilayah di provinsi Maluku. Walaupun Indonesia mayoritas beragama Muslim, para misionaris tetap bebas untuk menyebarkan agama Kristen di Indonesia. Dan banyak sekolah Kristen yang mengajarkan agama Kristen. Protestan di Indonesia terdiri dari berbagai denominasi, yaitu Huria Kristen Batak ProtestanGereja PentakostaGereja Tiberias Indonesia/Gereja Bethel IndonesiaGereja Masehi Advent Hari Ketujuh , Gereja Yesus SejatiMennonitGereja MetodisGereja BaptisGereja Tabernakel IndonesiaGereja Kristen Protestan Simalungun,Gereja Kristen Rejang dan denominasi lainnya.

Jejak Kristen Nestorian di Barus


Barus sebagai gerbang masuknya agama-agama luar didukung temuan G.J.J. Deutz, mantan kontrolir Belanda, ketika bertugas di Barus, menulis tahun 1872, Deutz menemukan pecahan batu peninggalan zaman Hindu. Namun, baru tahun 1932, prasasti itu dibaca diterjemahkan Profesor Nila-kanti Sastri dari Universitas Madras. Bahasanya bahasa Sangsekerta. Prasasti itu menyebutkan, abad ke-11, telah bermukim di kota Barus sebuah koloni bangsa Tamil.
Gnillout Claude, penulis buku Barus Seribu Tahun Yang Lalu menyebutkan, Barus adalah sebuah kota kuno di Pantai Barat Sumatera Utara. Nama Barus muncul dalam sejarah peradaban Melayu masa Hamzah Fansuri, penyair mistik terkenal itu.
Sementara itu, tim arkeolog dari Ecole Francaise D’extreme-Orient (EFEO) Perancis bekerjasama dengan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobutua-Barus, menemukan bahwa pada sekitar abad ke 9-12 Masehi, Barus telah menjadi sebuah perkampungan multi-etnis dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan etnis lainnya. Ini menandakan dahulu kala Barus itu sangatlah penting sebagai pusat perjumpaan para pedagang.
Ternyata, jauh sebelum temuan di atas, Barus juga merupakan masuknya agama ke Nusantara.
Hubungan Barus dengan Timur Tengah rupanya sudah lama. Jauh sebelum agama Islam masuk ke Nusantara, sudah terlebih dahulu tiba Kristen Nestorian. Adalah kecamatan terpencil di Sumatera Utara yang bernama Barus sebagai tempat masuknya Kristen Nestorian abad ke-6, tepatnya tahun 645.
Tetapi, jauh sebelum itu Nestorian sudah ada di Barus, Barus sudah merupakan pusat perdagangan asal kapur barus yang disebut “kamper.” Saat Abu Salih al-Armini menulis sebuah karangan bahwa kamper berasal dari Barus. Dalam buku itu dijelaskan jauh sebelum pedagang Timur-Tengah datang ke Barus sudah ada orang-orang Nestorian. Hal itu juga tertulis di buku Kitab Nazm al-Jawhar karangan Sa’idah al Batriq menyebutkan di abad ke-7 sudah jemaat Nestorian di Barus. Peryataan itu juga diperkuat dengan ditemukannya sebuah salib Nestorian.
Lain lagi laporan dari naskah-naskah kuno Nestorian tentang Keuskupan di Dabag yaitu wilayah Jawa dan Sumatera Selatan selain di Barus dekat Sibolga, Sumatera Utara. Abad ke-14 Giovanni De Marignolli dari Italia menemukan orang-orang Kristen yang berbudaya non-Eropa (Arab) di Majapahit dan Sriwijaya. Ada jemaat Nestorian yang masih melakukan sembayang ala Nestorian.
Sementara dalam buku Sejarah Perjumpaan Kristen dan Muslim di Indonesia yang ditulis Jan S.
Aritonang menyebutkan, jauh sebelum perjumpaan agama Islam di Indonesia sudah ada Kristen Nestorian bersumber dari Khaldea/Syria dan Persia. Menurutnya, hal ini juga diperkuat temuan beberapa misionaris Katolik ke tempat di Nusantara pada abad ke-14. Tetapi jejak Nestorian di Barus dipastikan tidak berakar, tidak pernah tumbuh.
Masuknya Kristen Nestorian pun di Barus tidak tahu pasti apa motif di balik itu. Apakah karena semangat penginjilan yang dilakukan oleh para penginjil yang disebut rahib itu? Atau, barangkali hanya untuk berdagang di Barus sebagai salah satu pelabuhan terkenal kala itu, atau Nestorian hanya sebagai menumpang?
Nestorian

Kristen Nestorian adalah Kristen Ortodoks yang berkembang di Timur-Tengah. Liturgi dan bahasa yang di pakai adalah Arab. Nestorian didirikan Nestorius, ajaran ini dilanjutkan oleh Eutyches (380-456). Kristen Nestorian adalah nama yang diberikan untuk pengikut Nestorius.
Gereja Netorian yang berasal dari Irak (Persia) ini tidak terlalu menghiraukan doktrin, tetapi giat mengekpresikan diri ke sebelah Timur maupun Selatan. Sepeninggalan Nestorius, Eutyches membangun teologia yang berbeda dari gereja Roma, ketika itu dikuasai Romawi. Perbedaan pandangan tentang teologia tersebut memperunyam situasi. Karena perbedaan teologia itu, tahun 451, oleh Gereja Katholik Roma pada Konsili Chalcedon menyebut Nestorian adalah Bi’dah.
Sejarah gereja pun tidak pernah jernih menyebutkan itu. Fakta Kristenlah yang pertama masuk ke Barus. Baru menyusul Muslim yang kemudian dari Barus meneruskan perjalanan ke Aceh. Sayangnya, jejak Kristen Nestorian tidak berkembang di Barus. Malah yang berkembang agama Islam.
Bukan hanya itu, di hampir tempat jejak Nestorian pupus. Di China, Kristen Nestorian juga mengalami jejak yang sama. Pernah mencoba mendirikan Kristen Nestorian dan akhirnya tinggal tak berjejak. Tekanan para ekstrimis-ekstrimis Budha yang menutup biara-biara Nestorian. Itu terjadi tatkala kaisar Mongol yang baru saja masuk Budha tahun 1311. Selain itu ada juga dampak dari persaingan dengan Katholik Roma yang menyusul masuk China.***



MENGUBAH DERITA MENJADI BAHAGIA

 MENGUBAH DERITA MENJADI BAHAGIA Oleh: Pdt. Yohanes Bambang Mulyono

Derita: Rahmat Atau Kutuk 


Siapakah di antara kita yang mengalami penderitaan, namun tetap mampu mengucap syukur? Siapakah di antara kita yang mengalami suatu rasa sakit, namun tetap dihayati sebagai suatu rahmat? Ataukah penderitaan yang kita alami membuat kita menjadi marah, kesal dan kecewa kepada Tuhan? Sebab kita menganggap bahwa rasa sakit yang kita alami hanyalah suatu kutuk. Penderitaan sebagai suatu rahmat ataukah suatu kutuk memang tergantung dari kasus dan latar-belakangnya. Dalam hal ini kita tidak boleh untuk menggeneralisir setiap penderitaan sebagai suatu rahmat, dan di lain pihak kita juga tidak boleh menganggap setiap penderitaan sebagai suatu kutuk. Rasul Petrus menyampaikan nasihatnya sebagai berikut: “Janganlah ada di antara kamu yang harus menderita sebagai pembunuh atau pencuri atau penjahat, atau pengacau. Tetapi, jika ia menderita sebagai orang Kristen, maka janganlah ia malu, melainkan hendaklah ia memuliakan Allah dalam nama Kristus itu” (I Petr. 4:15-16).

Kita harus kritis agar tidak membuka suatu pandangan yang salah seakan-akan semua penderitaan yang kita alami sebagai suatu rahmat dari Tuhan. Karena tidak jarang penderitaan yang kita alami sebagai akibat dari kesalahan, kecerobohan dan sikap kita yang takabur serta sikap yang tidak bijaksana. Sehingga sangatlah penting bagi kita untuk memahami suatu kasus penderitaan secara holistik. Kita perlu menganalisa kasus penderitaan tersebut secara lebih rasional dan seobyektif mungkin sehingga kita dapat menemukan penyebab utama dari penderitaan tersebut dan mencari solusi yang tepat sesuai dengan latar-belakang dari kasus penderitaan tersebut. Namun terlepas dari latar-belakang kasus penderitaan yang sedang kita alami. Sebenarnya penderitaan atau rasa sakit merupakan rahmat. Seandainya kita tidak dapat mengalami rasa sakit atau penderitaan, justru kita sedang berada dalam suatu bahaya besar. Sebagai contoh, apabila seseorang terkena penyakit lepra atau kusta maka dia tidak akan pernah merasa sakit ketika beberapa bagian dari jari-jarinya terluka dan putus. Sebagaimana diketahui bahwa penyakit lepra terjadi karena suatu bakteri yang bernama Mycobacterium leprae.

Pengembangbiakan bakteri tersebut merusak syaraf-syafat perasa dari kulit tubuh sehingga penderita seperti dalam keadaan dibius (anasthesi), sehingga dia tidak pernah merasa sakit ketika tangan atau kakinya terluka parah. Itu sebabnya penderita juga tidak akan pernah merasa sakit dan mungkin dia tidak tahu, ketika beberapa jari tangan atau kakinya telah terlepas. Dengan perkataan lain, rasa sakit sangat diperlukan sehingga kita dapat menjaga setiap anggota tubuh atau jiwa kita dari sesuatu yang membahayakan diri kita. Jadi rasa sakit atau penderitaan pada hakikatnya merupakan suatu rahmat. Apapun latar-belakang dan kasus dari rasa sakit atau penderitaan yang kita alami, kita wajib untuk mengucap syukur bahwa kita dapat merasakan rasa sakit atau penderitaan itu sehingga kita dapat menjaga, merawat dan memelihara tubuh kita secara benar dan bertanggungjawab. Rasa sakit atau penderitaan dapat berfungsi memberi motivasi atau mendorong kita untuk memperbaiki sesuatu yang salah dan memulihkan kembali sesuatu yang telah rusak.

Derita Sebagai Tanda Kefanaan Kita

Saat kita pertama kali lahir di atas muka bumi ini, kita telah mengenal rasa sakit. Seorang bayi menangis ketika dia keluar dari rahim ibunya karena dia sangat terkejut mendengar berbagai macam suara yang saat itu begitu dahsyat dan merasakan sesuatu yang begitu asing yang jauh dari rasa aman seperti ketika dia masih berada dalam rahim ibunya. Setelah dia tumbuh dari bulan ke bulan dia akan mengalami berbagai penderitaan seperti rasa lapar, haus, silau dan takut. Demikian realita penderitaan terus mengiringi perjalanan manusia bahkan sampai menjelang dia ajal. Itu sebabnya rasa sakit dan penderitaan pada hakikatnya merupakan satu bagian dengan kehidupan kita, dan juga menjadi satu paket dari proses kematian kita.

Melalui penderitaan yang kita alami, makin menyadarkan kita bahwa hidup manusia sangatlah fana dan serba terbatas. Kehidupan manusia yang sementara ini akan dilalui bersama rasa sakit dalam berbagai bentuk, sehingga kita makin disadarkan untuk perlu bersandar kepada Tuhan. Ketika rasa sakit atau derita kita diintegrasikan dengan sikap iman kepada Tuhan, maka kita dimampukan untuk memaknai penderitaan sebagai sesuatu yang melampui seluruh kefanaan dan keterbatasan kita. Jadi pengalaman penderitaan yang kita alami pada satu pihak dapat menyadarkan kita akan kefanaan hidup di dunia ini, sekaligus melalui penderitaan yang kita alami itu dapat membuka suatu perspektif dan dimensi baru untuk percaya akan penyertaan Allah di dalam kehidupan yang kekal.

Pada umumnya ketika kita merasa sehat, kuat, berhasil dan tanpa persoalan; kita sering hanya melihat realita kehidupan ini dari sudut permukaannya belaka. Itu sebabnya manusia sering bersikap takabur dan sombong ketika dia sehat, kuat, kaya dan menduduki posisi yang penting. Pada saat itu kita tidak melihat sedikitpun realita kehidupan bersifat fana dan terbatas. Tetapi ketika kita sakit dan menderita dalam kurun yang cukup lama, kita mulai menyadari secara eksistensial bahwa kita sedang berhadapan dengan situasi “batas akhir”. Dalam hal ini kita kemudian memberikan berbagai respon terhadap situasi penderitaan atau rasa sakit yang sedang kita hadapi.

Respon Dalam Penderitaan

Ketika kita mengalami rasa sakit dan derita yang sangat berat, kita dapat merespon dalam berbagai bentuk seperti: berkeluh-kesah, kecewa, marah, sedih, gelisah dan putus-asa. Respon tersebut sangatlah alamiah dan manusiawi. Namun respon tersebut perlu dilihat secara kritis, yaitu bagaimana akhir dari pergumulan dia dalam menghadapi rasa sakit dan deritanya? Apakah seluruh respon tersebut pada akhirnya tetap berujung pada tindakan iman ataukah tindakan di luar iman? Apabila respon dari pergumulan seseorang menghadapi rasa sakit dan penderitaan akhirnya bermuara pada tindakan di luar iman (tanpa sikap iman), maka sesungguhnya dia tidak pernah menemukan makna yang berarti dari penderitaannya. Sebab dengan tindakan di luar iman, seseorang yang menderita akan cenderung mengkristalisasi berbagai keluhan, kekecewaan, kemarahan, kesedihan, kegelishan dan keputus-asaannya semakin kuat. Sebaliknya ketika kita menyikapi penderitaan dengan sikap iman, maka penderitaan yang kita alami dapat diubah menjadi sesuatu yang bermakna.

Seseorang dapat menyikapi penderitaannya dengan sikap di luar iman (tanpa iman), karena dia menganggap bahwa dalam pengalamannya selama dia menderita, dia tidak menemukan kehadiran dan pertolongan Allah. Dia merasa diabaikan, tidak dipedulikan, doa-doanya tidak didengar oleh Tuhan; sehingga dia merasa hidup sendiri dan tak sanggup untuk menanggung seluruh derita yang kini dia alami. Karena itu dia menjadi putus-asa dan kecewa kepada Tuhan, sehingga dia memutuskan untuk berpaling meninggalkan Tuhan. Jadi di balik rasa putus-asa dan kecewa, sebenarnya dia sedang marah kepada Tuhan. Itu sebabnya dia menyikapi keadaan penderitaan yang dialami dengan sikap yang negatif, terluka dan destruktif. Rasa kecewa dan putus-asanya makin menjadi-jadi, sebab dia merasa Tuhan tidak menjawab doa-doanya dan menyembuhkan dia. Dalam hal ini mungkin semula dia sangat percaya bahwa Allah mahakuasa, sehingga Allah mampu melakukan segala perkara termasuk untuk menyembuhkan seluruh penyakitnya. Tetapi kini ketika dia sakit dan menderita, ternyata Tuhan tidak memberi kesembuhan atau pertolongan yang diharapkan dan memulihkan segala penyakitnya.



Namun sebaliknya juga dapat terjadi ketika kita mengalami penderitaan yang sangat berat. Semula kita berdoa agar Tuhan menyembuhkan dan memulihkan kita dari segala penyakit kita. Bahkan kita sungguh-sungguh berdoa tiada jemu agar Tuhan berkenan mengangkat seluruh penyakit kita, sehingga kita berjanji untuk melayani Allah dengan segenap hati dan waktu kita. Tetapi ternyata penyakit kita tidak tersembuhkan, bahkan kini kita makin berada dalam situasi yang gawat. Pada saat yang demikian, kita kemudian teringat doa Tuhan Yesus di taman Getsemani yang berkata: “Ya BapaKu, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari padaKu, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki” (Mat. 26:39). Dalam doa Tuhan Yesus tersebut jelas bahwa Tuhan Yesus menyampaikan permohonan kepada BapaNya agar Dia dibebaskan dari penderitaan maut yang akan dialamiNya. Tetapi pada akhir doaNya Tuhan Yesus justru tidak memaksakan kehendakNya, tetapi Dia kini sungguh-sungguh menyerahkan secara penuh kepada kehendak Allah. Ini berarti Tuhan Yesus pada akhir doaNya telah mampu menerima keputusan dari Allah untuk menghadapi kematian di atas kayu salib. Demikian pula dalam menghadapi penderitaan yang kita alami, respon kita seharusnya meneladani sikap Tuhan Yesus. Oleh kuasa anugerahNya kita dimampukan oleh Tuhan untuk menerima penyakit yang tidak tersembuhkan. Jadi kita dapat menyikapi penderitaan dengan sikap iman bukan karena penyakit kita harus selalu disembuhkan oleh Tuhan, tetapi kita diberi kemampuan oleh Tuhan untuk menerima dengan tulus penyakit kita yang tidak tersembuhkan sehingga sampai akhir hidup kita tetap mampu bergembira dan mengucap syukur kepadaNya.

Menemukan Makna Hidup Di Balik Penderitaan 

Penderitaan dapat menjadi sumber rahmat dan berkat Allah ketika penderitaan dan sakit kita yang tidak tersembuhkan dapat kita terima dengan tulus dan penuh percaya kepada Tuhan. Dengan sikap demikian kita dapat menemukan makna di balik setiap penderitaan yang sedang kita alami. Kita makin terbuka untuk melihat dimensi-dimensi rohaniah secara lebih eksistensial, sehingga kita secara spiritual dapat mengalami proses pertumbuhan yang mengagumkan. Di II Kor. 4:16-17 rasul Paulus mengungkapkan kesaksiannya, yaitu: “Sebab itu kami tidak tawar hati, tetapi meskipun manusia lahiriah kami semakin merosot, namun manusia batiniah kami dibaharui dari sehari ke sehari. Sebab penderitaan ringan yang sekarang ini, mengerjakan bagi kami kemuliaan kekal yang melebihi segala-galanya, jauh lebih besar dari pada penderitaan kami”. Dari kesaksian rasul Paulus tersebut kita dapat melihat bahwa secara lahiriah atau jasmaniah rasul Paulus mengalami kemerosotan. Dia makin menjadi tua, lemah, sakit-sakitan dan terbatas daya jangkauannya. Tetapi kemerosotan lahiriah tersebut tidak berarti dia harus mengalami kemerosotan rohani. Sebaliknya dengan sikap iman dan kesetiaannya kepada Tuhan Yesus, rasul Paulus justru mengalami proses pertumbuhan kualitatif dari manusia batiniahnya. Walaupun rasul Paulus dari hari ke hari tubuh fisiknya makin lemah, tetapi dia dapat mengalami proses pembaharuan rohaniah yang makin murni; sehingga dia menganggap penderitaannya pada masa sekarang hanyalah suatu hal yang ringan dibandingkan dengan kemuliaan kekal yang kelak akan diterimanya.

Justru seringkali yang terjadi dalam realita hidup adalah kita mengalami proses kemerosotan secara lahiriah tetapi juga pada saat yang sama kita mengalami proses kemerosotan secara rohaniah. Sehingga dalam situasi yang demikian, penderitaan sekarang yang kita alami terasa begitu dahsyat dan mengerikan karena kita tidak mampu untuk melampaui penderitaan atau rasa sakit kita. Dalam hal ini kita terjebak dalam keterbatasan insane, dan tidak mampu mentransendensikan diri kepada sesuatu yang mulia dan kekal. Realita “batas akhir” hanyalah sebatas keberadaan tubuh fisik kita yang makin melemah, tanpa daya dan tidak tersembuhkan. Sebaliknya sikap iman kepada Tuhan akan memampukan kita untuk melampaui atau mentransendensikan yang serba kelihatan dan terbatas itu yaitu tubuh fisik kita, sehingga kita juga mampu melampaui “batas akhir” dari situasi kefanaan kita. Itu sebabnya rasul Paulus berkata: “Sebab kami tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tak kelihatan, karena yang kelihatan adalah sementara, sedangkan yang tak kelihatan adalah kekal” (II Kor. 4:18). Jadi makna hidup ditemukan oleh rasul Paulus justru ketika dia berada di dalam kelemahan dan kemerosotan tubuhnya. Dengan sikap imannya rasul Paulus tidak lagi memperhatikan yang serba kelihatan yaitu tubuh fisiknya yang makin melemah atau keadaan manusiawinya, tetapi dia dengan sikap imannya berhasil melampui penderitaannya; sehingga dia semakin jeli dan jernih melihat kenyataan-kenyataan yang tidak kelihatan yaitu janji keselamatan dan berkat Allah yang tidak dapat diberikan oleh dunia ini.

Melalui Penderitaan Kristus, Allah Hadir Dalam Penderitaan Kita 

Dalam buku yang ditulis oleh Andrew Sung Park yang berjudul “The Wounded Heart of God”, Sung Park mengungkapkan bahwa dosa-dosa yang diperbuat oleh manusia telah melukai hati Allah dan sesamanya. Luka itu oleh Sung Park disebut dengan istilah “han”. Maksud dari pengertian “han” adalah suatu penderitaan yang diakibatkan oleh dosa. Sebagaimana dipahami bahwa dosa diperbuat oleh orang yang bersalah, tetapi “han” senantiasa dialami oleh pihak korban. Jadi luka Allah di dalam peristiwa salib yang dialami oleh Tuhan Yesus pada hakikatnya telah menempatkan Allah sebagai pihak korban. Dengan demikian dalam pemahaman dan pengalaman “han” telah menjadi titik temu atau perjumpaan antara Allah dengan manusia yang menderita. Dalam peristiwa salib, pada hakikatnya Allah telah mengalami penderitaan manusia, dan manusia menyaksikan penderitaan Allah.

Pandangan yang serupa juga dikemukakan oleh Kazoh Kitamori. Dalam bukunya yang berjudul “Kami No Itami No Shingaku”: Theology of the Pain of God, Kitamori menegaskan bahwa pusat dari Injil adalah penderitaan Allah. Sedang penderitaan itu pada hakikatnya menunjuk kepada hati Allah dan hakikatNya. Karena itu melalui penderitaan manusia dipakai oleh Allah sebagai simbol dari penderitaanNya sendiri. Melalui penderitaan manusia, Allah ikut menderita. Itu sebabnya Kristus menderita dan wafat bagi kita, agar melalui penderitaan dan kematian Kristus, penderitaan yang dialami oleh manusia ditempatkan di jantung hati Allah. Sehingga Allah di dalam Kristus dapat merasakan setiap penderitaan yang dialami oleh umatNya. Realita penderitaan kini tidak harus menempatkan manusia terpisah, terasing dan terbuang dari hadapan Allah. Sebab Allah di dalam Kristus menjadi sangat dekat dengan setiap orang yang menderita.

Di II Kor. 4:8-9 rasul Paulus menyaksikan bagaimana kuasa Kristus bekerja dan memampukan dia dalam menghadapi penderitaan, yaitu: “Dalam segala hal kami ditindas, namun tidak terjepit; kami habis akal, namun tidak putus asa; kami dianiaya, namun tidak ditinggalkan sendirian, kami dihempaskan, namun tidak binasa”. Kekuatan untuk menanggung semua penderitaan tersebut bukan hanya karena Kristus memberi daya tahan yang luar biasa kepada rasul Paulus, tetapi juga karena rasul Paulus menyadari bahwa dia membawa “kematian” Kristus di dalam tubuhnya. Penderitaan yang dialaminya, dia yakini sebagai suatu penderitaan yang dialami oleh Kristus. Itu sebabnya rasul Paulus berkata: “Kami senantiasa membawa kematian Yesus di dalam tubuh kami, supaya kehidupan Yesus juga menjadi nyata di dalam tubuh kami”.

Bagaimana Mengasihi Cucu di Tengah Dunia yang Sudah Berubah

Artikel karya : Nugroho Suhendro

Dalam perkembangan dunia saat ini, peran kakek dan nenek sangat diperlukan untuk menolong anak dan menantu mendidik dan menanamkan kasih sayang kepada cucu. Peran kakek dan nenek ini hanya bersifat membantu, bukan menggantikan peran dan tanggung jawab anak dan menantu.

Dunia Maya 
Mau tidak mau kakek dan nenek harus mengikuti, setidaknya mengerti dunia maya lewat komputer/ponsel/televisi. Dunia maya membantu kakek dan nenek untuk berkomunikasi dan mencari informasi dengan cepat, namun dunia maya juga ada segi negatifnya, yaitu bisa menjerumuskan anak-anak ke dunia porno, narkoba, dan lain-lain. Karena itu, peran kakek dan nenek dalam mengawasi cucu, khususnya pada waktu ia dititipkan kepada mereka, perlu dijalankan dengan baik agar si cucu tidak membohongi mereka. Perkembangan dunia saat ini banyak membuat istri membantu suaminya mencari nafkah bagi keluarga. Suami dan istri berangkat pagi hari dan pulang ke rumah pada sore atau malam hari, sehingga bantuan kakek dan nenek untuk menjaga anak mereka sangat dibutuhkan.
Di samping mengawasi cucu, kakek dan nenek perlu sekali memberi kasih kepada cucu mereka, karena kasih adalah kebutuhan esensial setiap orang dan tangki kasih cucu harus selalu penuh. Kalau tangkinya kosong, maka ia bisa mencarinya di luar, yang belum tentu benar. Kasih yang diperlukan cucu adalah kasih dari Tuhan Yesus yang panjang sabar, rendah hati, mengampuni dan mendidik. Perkembangan dunia saat ini mudah membuat anak-anak kurang teguh memegang ajaran agama, sehingga peran kakek dan nenek diperlukan untuk mengenalkan Tuhan kepada mereka.

Kakek dan Nenek Membantu Anak dan Menantu 
Ada sepasang suami-istri yang ingin pergi liburan berdua saja, sehingga anak mereka dititipkan kepada kakek dan neneknya. Untuk menyenangkan hati cucunya, nenek memberi permen kepadanya, tetapi cucunya menolak, karena orangtuanya melarangnya makan permen. Mendengar hal itu, nenek bilang bahwa si cucu kini berada di rumahnya dan di sini neneklah yang berkuasa. Setelah orangtuanya pulang dari liburan dan si cucu kembali ke rumahnya, ia minta permen kepada orangtuanya namun tidak diberikan. Anak ini kemudian protes karena di rumah nenek, ia boleh makan permen. Dari soal sepele ini, bisa timbul konflik antara kakek dan nenek dengan anak atau menantu. Karena itu perlu ada komunikasi yang baik antara kakek dan nenek dengan anak dan menantu di dalam mengasuh anak. Konflik antara kakek dan nenek dengan anak dan menantu kadang-kadang tidak bisa dihindarkan, karena itu kedua belah pihak harus saling menghormati di dalam mengatasi konflik tersebut, sehingga cucu juga akan menghormati mereka. Sebaiknya segala perbedaan pendapat dibicarakan tanpa kehadiran cucu. Kita harus tahu bahwa anak memiliki kepekaan alami yang kuat ketika merasakan suasana yang kurang aman dan menyenangkan. Kebijaksanaan orang-orang dewasa untuk menyelesaikan masalah dengan kepala dingin diperlukan untuk menjaga agar anak merasa tenteram, aman dan dikasihi.

Apa yang Diperlukan Oleh Cucu? 
Anak sangat membutuhkan kasih tanpa syarat dan merupakan kewajiban orangtua untuk memberikan kasih itu kepadanya. Meskipun demikian, dalam kenyataannya banyak hambatan pribadi yang dihadapi orangtua dalam membesarkan buah hati mereka. Selain sibuk dengan karier, kehidupan rumah tangga mereka terkadang tidak kondusif, atau mereka memiliki pergumulan pribadi yang tidak mudah dipecahkan.
Dalam hal ini, kakek dan nenek bisa berkontribusi dengan memberikan kasih itu, baik kepada anak dan menantu, maupun kepada cucu mereka. Kasih tersebut tidak hanya diucapkan saja, tetapi perlu ditunjukkan dengan tindakan konkret. Kasih tanpa syarat ini diungkapkan Paulus di dalam 1 Kor 13, antara lain: Kasih itu tidak memegahkan diri (rendah hati), sabar, penuh komitmen, adil dan berkesinambungan. Kasih murni seperti ini bertolak belakang dengan kasih yang bersyarat, misalnya: “Saya akan berlaku baik kepadamu jika kamu memenuhi permintaan saya.” Kasih sejatilah yang diharapkan oleh cucu. Ia percaya bahwa kakek dan nenek akan selalu melindunginya Ia memercayai mereka karena mereka dapat selalu diandalkan. Di dalam kasih tidak ada ketakutan, karena kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan. Ketakutan mengandung hukuman dan barang siapa takut, ia tidak sempurna di dalam kasih (1 Yoh 4:18). Karena itu, di dalam mendidik cucu, kakek dan nenek dianjurkan untuk tidak menggunakan pendekatan dengan hukuman, tetapi pendekatan dengan imbalan (reward). Kakek dan nenek perlu minta bantuan Tuhan agar dapat menerapkan kasih tanpa syarat kepada anak, menantu dan cucu mereka, seperti kasih yang Tuhan berikan kepada mereka.

Mengisi Tangki Dengan Kasih 
Mobil yang habis bensinnya akan mogok. Demikian juga cucu kita perlu diisi tankinya dengan kasih sayang, dan karena tangkinya kecil, maka pengisian itu perlu sering dilakukan. Isi yang kurang dapat menyebabkannya berperilaku tidak baik, namun jika tangkinya penuh, ia akan menyerap teladan kakek dan nenek untuk membagikan kasih dan perhatian kepada orang lain. Ia misalnya dapat belajar untuk menolong orang lain yang memerlukan bantuan, berlaku sopan ketika berkendara dan tidak mengeluarkan umpatan terhadap pengendara lain yang kurang disiplin, dan sebagainya. Ada tiga hal perlu kita ketahui:

  1. Pada usia 2-4 minggu, seorang bayi sudah bisa merasakan kasih sayang melalui kontak mata (bentuk komunikasi primitif). Misalnya pada waktu kakek atau nenek mengasuh cucu sambil membaca koran, si cucu sering menarik koran itu. Hal tersebut bukan karena ia nakal, tetapi karena ia menginginkan perhatian kakek atau nenek, sehingga ketika ia berbicara, tatapan mata yang penuh kasih sayang kepadanya akan membuatnya puas dan senang.
  2. Sentuhan hangat penuh kasih sayang juga akan membuat cucu senang. Kakek dan nenek dapat memeluk dan menciumnya, tetapi juga membelainya di kepala atau pundaknya. Sentuhan tidak saja mengembangkan pertumbuhan emosional anak tetapi juga pertumbuhan fisiknya. Kini bahkan sudah ada spa untuk bayi, di mana bayi dipijat untuk membuatnya enak tidur, sehat dan cerdas. Bagaimana dengan cucu yang sudah remaja, apakah ia masih memerlukan sentuhan kasih? Tentu saja ia masih membutuhkannya, meskipun tentu tidak sesering seperti ketika ia masih kecil. Ia perlu mengetahui bahwa ia tetap dikasihi, tetapi dengan cara yang lebih dewasa dan sesuai dengan usianya. 
  3. Menyediakan waktu khusus untuk cucu juga sangat penting, seperti bermain bersama, atau pergi rekreasi bersama. Di dalam Markus 10: 13-16 diceritakan bahwa Yesus menatap mata anak-anak, menyentuh mereka dan meluangkan waktu-Nya yang berharga untuk mereka, demi menunjukkan cinta-Nya kepada mereka. Dapatkah kakek dan nenek meniru teladan yang Tuhan berikan itu? 
Kakek dan Nenek, dan Iman
 Sangatlah bijaksana kalau kakek dan nenek bisa membawa cucu mereka untuk mengikuti Sekolah Minggu sejak dini. Dengan membawa cucu ke Sekolah Minggu, kakek dan nenek juga bisa menarik orangtua mereka, yang mungkin malas beribadah, untuk kembali datang ke gereja. Mungkin hal itu dapat dimulai dengan melihat anak-anak mengadakan pertunjukan di gereja. Meskipun demikian, kakek dan nenek perlu terlebih dulu meminta izin anak dan menantu untuk membawa cucu ke Sekolah Minggu, agar tidak menimbulkan masalah di antara mereka.
Kakek dan nenek perlu menunjukkan kepada cucu bahwa mereka mengasihi Tuhan dengan sepenuh hati dan mengajarkan hal ini kapan saja dan di mana saja (Ulangan 6:5-9). Mereka juga bisa mengajar cucu untuk mengasihi sesama (Mat 22:39), misalnya dengan menceritakan perumpamaan orang Samaria yang baik hati, yang peduli kepada orang lain yang membutuhkan pertolongan dan contoh mempraktikkan dalam hal mengasihi orang lain. Teladan yang mereka ajarkan akan ditiru oleh cucu. Kakek dan nenek juga perlu menunjukkan kepada cucu bahwa mereka saling mencintai, misalnya dengan berjalan bergandengan tangan. Cucu akan melihat dan merasakan bahwa rumah kakek dan neneknya adalah tempat yang penuh kehangatan, keriangan dan kasih. Dengan demikian ia juga akan percaya kepada kakek dan neneknya, sehingga ketika ia takut atau menghadapi masalah, ia akan datang kepada mereka dan bukan kepada orang lain yang belum tentu bisa memberi jalan keluar yang benar. Banyak remaja yang terlibat narkoba, seks bebas dan berbagai kejahatan, karena di rumah mereka tidak ada kehangatan/kasih sayang (home sweet home). Yesaya 41:10 mengatakan, “Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau, janganlah bimbang, sebab Aku ini Allahmu; Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau; Aku akan memegang engkau dengan tangan kanan-Ku yang membawa kemenangan.” Suatu hari nanti, Tuhan akan berjalan bersama dengan cucu kita, memberinya kekuatan yang dibutuhkannya dalam mengarungi kehidupannya. Inilah warisan yang sangat berharga, yang dapat diberikan kakek dan nenek kepada cucu mereka.

 Nugroho Suhendro

Rabu, 23 Oktober 2013

SEPUTAR IBADAH GKI

Tulisan ini kami ambil dari salah satu website gereja GKI, tapi karena sudah terlalu lama kami lupa dari website gereja yang mana.....tapi isinya masih relevan dan kami yakin bisa menjadi pengetahuan untuk jemaat ttg Ibadah yang setiap minggu mereka lakukan....maafkan kalau kami lupa sumber naskah ini tetapi kalau ada yang bisa memberitahu kami menghargainya.


Ibadah dan  Apa Perananku? 


Ibadah = Kerja Bersama

Pernahkah saudara menyaksikan pertunjukan? Konser atau drama? Dalam pertunjukan itu paling tidak ada tiga peranan yang penting:

  1. Sutradara; yang merancang jalannya konser atau pertunjukan supaya apa yang ditampilkan itu sesuai dengan alur yang dikehendaki. Ada langkah-langkah, ada arahan-arahan sehingga naskah itu bisa dilakonkan dengan baik.
  2. Pemain; yang memungkinkan seluruh apa yang dirancangkan oleh si sutradara berjalan dengan baik. “menerjemahkan” apa yang ada di dalam naskah/partitur supaya menjadi sebuah pertunjukan yang indah dan memuaskan. Sebagus apa pun naskahnya kalau tidak bisa diterjemahkan dengan baik, maka tidak akan bisa disampaikan maksud sutradara kepada penonton. 
  3. Penonton; yang menyaksikan konser atau drama itu. Apa jadinya pertunjukan tanpa penonton? Sebagus apa pun naskah drama, secakap apa pun pemain tetapi kalau tanpa penonton, maka akan mubazir sebuah pertunjukan. 
Ini yang penting; yang perlu saudara jawab: Menurut saudara, kalau saudara duduk di kursi jemaat: apa peranan saudara? Sebagai sutradarakah? Sebagai pemainkah? Atau sebagai penontonkah?
Coba direnungkan…

Kebanyakan dari kita pasti akan dengan segera menyebutkan diri sebagai penonton. Penonton yang menyaksikan pengkotbah yang menyampaikan Firman Tuhan, Penatua yang memimpin jalannya ibadah, paduan suara/vokal grup/solo yang menyanyikan lagu, dll. Oleh karena itu apa yang terjadi? Kita akan bertepuk tangan setelah paduan suara/vokal grup/solo tampil, menggerutu kalau penatuanya salah baca atau pengkotbahnya kelamaan waktu kotbahnya. Kita jadi tidak menikmati sebuah ibadah. Apalagi kalau kita mendapat tempat yang kurang strategis, panas dan tidak nyaman.

Lalu, kalau bukan sebagai penonton, sebagai apa seorang jemaat itu? 

Mari kita melihat peranan berdasarkan arti dasar dari sebuah ibadah: dalam arti umum maka ibadah itu berarti juga sebuah kerja bersama di antara orang-orang yang hadir. Dan itu berarti bahwa dalam sebuah acara semua orang terlibat dalam kerja bersama itu. Semua orang mengambil peranan. Dalam hal ini jemaat juga ikut serta di dalam liturgi yang dilaksanakan bersama. Jadi, jemaat bukanlah penonton yang menyaksikan “pertunjukan” liturgi yang dilakukan oleh pendeta, penatua, paduan suara/vokalgrup/solo. Jemaat adalah pemain.

Mengapa begitu? Dalam hal ini sutradara adalah orang-orang yang mengatur jalannya sebuah ibadah. Dalam hal ini ada naskah yang dibuat oleh sutradara dalam bentuk liturgi. Dalam liturgi ada tata urutan yang diikuti. Bukankah saudara ikut berdiri jikalau dalam liturgi ditulis berdiri? Duduk jikalau di liturgi dituliskan duduk? Bersalaman jikalau di liturgi dituliskan bersalaman? Saudara adalah Pemain dalam liturgi itu. Karena itu peranan saudara sangat penting dalam melaksanakan “naskah” liturgi itu, baik dalam hal bernyanyi, berdoa, menanggapi Firman dll. Dalam hal ini pemain yang baik tentulah perlu menghayati peranannya dengan baik. Karena itu perlu:

  1. Hayati liturgi dengan baik; baca naskah liturgi sebelum ibadah dimulai. Apa peranan saya?
  2. Pelajari apakah ada lagu atau bagian liturgi yang sulit untuk dilakukan.
  3. Doakan jalannya ibadah supaya berjalan dengan baik, untuk mendukung para sutradara melaksanakan tugasnya. Kalau saudara berkenan hal ini malahan perlu dilakukan sebelum saudara hadir dalam ruang ibadah.
  4. Ikuti jalannya ibadah dengan baik. 
Tentu saudara bertanya: Kalau saya sebagai pemain, siapa yang menjadi penonton? 
Tuhanlah sebagai penonton. Dialah yang menyaksikan persembahan ibadah yang kita lakukan. Baik sebagai sutradara dan pemain dalam ibadah kita. Dia akan tersenyum kalau kita bisa melaksanakan ibadah kita dengan baik. Selamat menjadi pemain yang baik!

Sutradara dan Naskah
Seperti yang sedikit sudah disinggung diatas, maka sutradara adalah orang yang merancang. Apa yang dirancang? Ibadah, yang tujuannya adalah untuk memuji dan memuliakan nama Tuhan. Sutradara adalah yang mengatur dan yang diberikan tugas untuk mengatur para pemain (jemaat) yang berperanan dalam ibadah itu. Lalu, siapa yang disebut sebagai sutradara? Sutradara dalam sebuah ibadah adalah “pengatur” dalam ibadah itu. Dalam hal ini adalah orang-orang yang mengajak jemaat untuk melakukan sesuatu dalam rangkaian ibadah itu. Yang mengajak menyanyi, bersalaman, berdiri, mengakui iman, dll. Artinya semua yang bertugas dalam ibadah itu. Siapa saja? Pengkotbah, Penatua, organis/pianis/pemain musik, song leader, Paduan Suara/Vokal Grup/Solo/Duet/Trio, dll. Sutradara perlu mempersiapkan dirinya sehingga ketika “mengatur” jemaat, bisa mengaturnya dengan baik. Paling tidak ia/mereka harus memahami alur dari ibadah. Apa yang akan diatur untuk pemain.

Naskah 
Karena itu “naskah” yang merupakan alur sebuah ibadah harus jelas. Dalam liturgi kita memang menjadi sebuah kebiasaan yang dilakukan dalam rangkaian ibadah itu; duduk dan berdiri, dll. Tetapi tentu perlu untuk menjadi jelas, supaya semua orang yang terlibat dalam liturgi itu mampu berperanan dengan baik. Sama dengan sebuah pertunjukan; kalau sutradaranya baik, pemainnya baik tetapi naskahnya tidak bisa dipahami, bagaimana pemain akan berlakon? Bagaimana penonton akan memahami alur dari ibadah? Memuji atau mencela? Oleh karena itu “naskah” harus dipersiapkan dengan baik supaya bisa dipahami, dihayati dan dijalankan dengan baik. Naskah yang baik tidak harus ditulis semua hal, yang penting adalah bisa dipahami oleh masing-masing pelaku sehingga ibadah bisa berjalan dengan baik. Naskah kita adalah Tata Ibadah yang kita lakukan, yang terdiri dari lagu dan berbagai hal yang berkaitan dengan ibadah itu. Naskah itu–kalau diketik–harus merupakan naskah yang membantu jemaat melakukan pujian dan pemuliaan Tuhan dalam ibadah itu. Lagu yang dipilih harus juga sesuai dan merupakan sebuah rangkaian alur yang mengajak jemaat untuk menghayati sesuatu hal (tema) dalam rangka memuji dan memuliakan Tuhan.

Yang Bisa dilakukan 
Kalau demikian, apa yang bisa dan harus dilakukan? Para sutradara dan naskah yang dibuat harus dipersiapkan dengan baik. Para sutradara harus mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya; persiapan diri (pribadi), persiapan menghayati naskah dan berperanan dalam ibadah itu, hadir jauh lebih awal daripada pemain sehingga mampu mengoreksi yang salah atau yang belum dilakukan.

Coba direnungkan…
Bagaimana kalau sutradara tidak mempersiapkan diri dengan baik? Apakah ia/mereka memberikan persembahan dengan baik? Setiap orang yang berperanan dalam ibadah sudah semestinya merupakan orang yang bersedia untuk bersiap lebih supaya semua berjalan dengan baik.
Mengapa? Karena kita memuji dan memuliakan Tuhan

Votum dan Salam 

Bagian Selanjutnya yang akan kita bahas adalah dalam rangkain ibadah selalu diawali oleh Votum dan salam dan kebanyakan kita melakukan secara rutinitas...semoga penjelasan ini bisa membuat kita menyadari maknanya dan bsia melakukan dengan lebih berhikmat.

Dalam tulisan tentang Tata Ibadah GKI, secara garis besar telah diterangkan tentang liturgi GKI. Berikutnya akan membahas tentang bagian-bagian liturgi yang penting untuk dipahami lebih dalam sehingga kita melihat: mengapa itu mesti ada dalam liturgi kita?

Secara garis besar, liturgi GKI dibagi menjadi 4 bagian, yaitu:

  1. Jemaat Berhimpun 
  2. Pelayanan Firman 
  3. Pelayanan Persembahan 
  4. Pengutusan
 Susunannya tentu tidak boleh dibolak balik, sekali pun dimungkinkan adanya variasi yang membuat ibadah itu “hidup”. “Votum dan Salam” itu berada dalam bagian “Jemaat Berhimpun”. Selain “Votum dan Salam”, ada bagian-bagian lain yang merupakan bagian “Jemaat Berhimpun” tersebut, yang akan dibahas satu persatu.

Votum dan Salam; dulu dan kini
Dalam liturgi GKI yang lalu, votum dan salam merupakan satu rangkaian, sehingga ketika pengkhotbah menyampaikan votum, langsung disambung dengan salam, baru jemaat menjawabnya dengan pernyataan: “Amin… amin… amin.” (yang berarti “Percaya”). Tentu bukan soal salah dan benar ketika dalam bagian saat ini jawaban untuk votum dan salam dipisahkan sendiri-sendiri. Dalam pemahaman saat itu, tentu votum dan salam dihayati sebagai bagian yang tidak terpisahkan, sehingga dijawab sekaligus. Votum dan salamnya sekaligus diaminkan. Tetapi saat ini melalui studi yang lebih mendalam tentang liturgi, pemahamannya sudah berubah. Bahwa votum itu memang dijawab dengan “Amin” dan Salam dijawab dengan “Dan Besertamu juga.” Mana yang benar? Sekali lagi: ini bukan soal salah dan benar, tetapi soal penghayatan dan pemberian maknanya. Kalau dulu kita hanya mengikuti “Votum dan Salam” yang digabung, itu karena kita mengikuti liturgi dari gereja Belanda, yang memang begitu dari sononya. Dan kalau akhir-akhir ini ada beberapa teolog (karena ada yang pendeta maupun bukan) yang meneliti dan memberikan hasilnya yang disepakati dalam Persidangan Sinode, ya itulah kesepakatan kita bersama dalam kebersamaan kita sebagai GKI. Dan oleh karena itu, maka akan diterangkan tentang: Votum dan Salam itu.

Apa itu Votum? 
Votum adalah sebuah pengakuan. Ingat istilah bahasa Inggris dalam pemilihan umum? Vote. Kata ini berakar dari bahasa yang sama dengan votum. Votum itu berarti pengesahan/dukungan suara. Jadi ketika votum itu dinyatakan, itulah pernyataan dari Allah yang menunjukkan bahwa Allah-lah yang menjadi sumber dari segala pertolongan umat. Karena itu Votum bahwa: “Pertolongan kita berasal dari Tuhan, pencipta langit dan bumi” (atau dengan pernyataan yang lain). Pernyataan ini adalah pernyataan pengkhotbah yang mewakili Allah di hadapan umat. Dalam pernyataan ini maka jemaat menjawabnya dengan: “Amin… amin… amin.” (percaya). Jemaat menyatakan/menjawab pernyataan dari Allah itu dengan menyatakan “Ya, Tuhan, aku percaya bahwa dalam setiap langkah hidup kami itu adalah merupakan bagian-bagian pertolongan Tuhan. Baik yang menyenangkan kami
maupun juga yang tidak menyenangkan kami, bahkan yang menyakiti kami. Kami percaya bahwa Tuhan sanggup menjadikan yang tidak baik menjadi kebaikan bagi kami.” Yang sering ditanyakan; bagaimana sikap jemaat ketika votum dinyatakan? Sama seperti kebiasaan kita yang dari dulu, maka ketika votum diucapkan, jemaat dengan sikap berdiri (kecuali untuk yang tidak bisa berdiri; menunjukkan kesiapan untuk mendengar pernyataan Allah itu dan mengakuinya; dengan mengucapkan “amin”. Ini bukan doa, karena itu bukan dengan memejamkan mata tetapi menunduk dan meresapi makna kata-kata yang diucapkan pengkhotbah dan menjawabnya dengan penuh keyakinan.

Apa itu Salam? 
Salam adalah pernyataan dari Allah yang dinyatakan juga oleh Pengkhotbah. Salam ini menyatakan bahwa Allah mau menyapa kita. Dalam hal ini pengkhotbah menyatakan bahwa penyertaan dan pimpinan Allah-lah yang menyertai dan memimpin setiap orang percaya, yang datang kepada kita terlebih dahulu dibanding dengan kita. Lalu mengapa jemaat menjawabnya dengan “Dan beserta saudara juga”? Karena di sinilah makna persekutuan orang beriman; bahwa jemaat saling memberikan salam satu dengan yang lain, supaya semua merasakan “Syalom” (damai sejahtera) dalam hidupnya. Apakah tidak boleh pengkhotbah yang menjadi alat di tangan Tuhan mendapatkan damai sejahtera? Tentu jawabnya harus, karena itu salam juga disampaikan oleh jemaat. Sikap jemaat, ya tentu bukan juga sikap berdoa, tetapi seperti juga ketika kita memberi salam kepada orang lain, menyapa dengan menatap kepada yang disapanya.


Pengakuan Dosa 

PENDAHULUAN 
Mengaku dosa. Apa yang dilakukan dalam pengakuan dosa? Apakah tidak cukup bagi Tuhan bahwa aku sudah minta maaf dan minta ampun? Apakah kesalahanku yang 5, 10 tahun yang lalu yang harus aku akui? Bagaimana sikap kita ketika kita mengakui dosa?

PENGAKUAN DOSA: APA ITU? 
Ibadah adalah sebuah perjumpaan. Perjumpaan umat dengan Allah yang datang ke dunia untuk “bercakap—cakap”. Sama seperti Allah yang ingin senantiasa bercakap—cakap dengan manusia dan perempuan pertama di taman Eden (lih. Kejadian 3), demikian juga Allah ingin berjumpa dengan umat—Nya. Lalu, apa yang terjadi? Dalam Kejadian 3 jelas bahwa dosa itu menghalangi hubungan antara Allah dan manusia. Mereka berdua merasa takut kepada Tuhan dengan membuat cawat dari daun-daunan karena mereka telanjang. Di hadapan Tuhan kita adalah orang—orang yang “telanjang”, tidak ada satupun yang tertutupi. Dalam kelemahan, kita melakukan banyak dosa. Kita adalah makhluk lemah yang berkali-kali melakukan kesalahan. Kesadaran inilah yang membawa kita datang untuk mengakui dosa dan kesalahan; sengaja atau tidak sengaja. Lalu, dosa yang mana? Tentu bukan dosa yang sudah ditumpuk—tumpuk dan kita ingat—ingat terus (Terjemahan bebas ilustrasi Anthony de Mello: ketika seorang berdoa dan mengatakan: “Tuhan ampuni dosa saya setahun yang lalu.” setelah setiap hari berdoa. Apa jawab Tuhan? “Dosa yang mana? Aku sudah melupakan, anak—Ku”). Tuhan tidak mengungkit—ungkit kesalahan. Hanya diperlukan dari kita pengakuan yang tidak berbelit-belit dan kesediaan untuk mengisi hidup baru yang Tuhan beri itu dengan sebaik—baiknya. Pengakuan/pernyataan ini hanyalah Minggu per Minggu karena setiap Minggu sudah diakui dan sudah dihapuskan 0leh Tuhan. Pengakuan bukan merupakan kesempatan untuk melakukan dosa lagi dan lagi. Kalau kemarin kertas yang diberikan kepada kita, kita coret dengan “gambar” yang tidak baik, maka hidup ke depan adalah kesempatan untuk mencoret dengan baik dan indah; berusaha lebih baik dan lebih baik lagi.

DALAM DOA ITU DIBAGI MENIADI DUA: 

  1. Doa pribadi yang merupakan wujud pernyataan pribadi yang diakui sendiri 0leh setiap umat Tuhan sebagai pribadi yang melakukan dosa. 
  2. Doa oleh pengkhotbah atau Liturgos yang merupakan rangkuman (doa bersama) dari umat kepada Tuhan. Karena itu kalimatnya tidak khas, tetapi penegasan dan pernyataan bersama yang mendorong umat untuk melakukan yang terbaik untuk Tuhan di hari yang akan datang. 
Dalam doa ini tentulah umat merasakan bagaimana Tuhan mengampuni dosa dan kesalahannya; sebesar apa pun, asal dengan sungguh—sungguh mengakuinya di hadapan Tuhan dan bertekad untuk mempunyai hidup yang baru.

 Catatan kecil: 
Tidak semua doa adalah doa pengakuan dosa. Karena itu tidak semua doa juga mengakui dosa kita. Ada doa permohonan, doa pengakuan, doa syukur dan lain—lain, tergantung maksud kita menaikkan doa kita


Berita Anugerah

Berita Anugerah = Kabar Gembira Bagi Umat yang Lemah
Ketika dinyatakan sebagai berita anugerah, maka ini merupakan pernyataan bahwa Allah yang Mahamurah itu mengampuni dosa-dosa umat-Nya. Dia tidak mengingat-ingat dosa umat-Nya dan membuka tangan-Nya untuk manusia, umat milik kepunyaan-Nya. Anugerah Allah itu dinyatakan dengan membacakan bagian dari Firman Tuhan yang menyatakan bagaimana kasih-Nya kepada umat. Bagian yang bisa dipilih antara lain Yohanes 3:16; yang menyatakan bagaimana anugerah Allah itu benar-benar nyata Ia berikan kepada umat. Dalam hal ini umat menanggapinya dengan menyatakan “Syukur kepada Allah”. Jadi anugerah itu berasal dari Allah, bukan oleh karena si pengkhotbah. Si pengkhotbah adalah saluran penyampaian anugerah Tuhan kepada umat-Nya, bukan pemberi anugerah. Bahkan pengkhotbah juga adalah merupakan umat yang berdosa dan menerima anugerah itu.
Allahlah yang memulai perdamaian! Hal yang sama juga dialami oleh Abram, ketika ia mengadakan perjanjian dengan Allah (atau tepatnya: Allah mengadakan perjanjian dengan Abram). Allah yang berinsiatif, Allah yang mengampuni dan Allah yang selalu menyertai. Pembakaran korban penghapus dosa dan korban-korban lain merupakan kelanjutan dari perjanjian antara Allah dengan umatNya.

Salam Damai 
Apa yang dilakukan setelah diampuni dosanya? Allah sudah berdamai, bahkan mengambil inisiatif damai itu. Perdamaian yang Allah berikan itu tidak akan menjadi sesuatu hal yang berguna ketika kita tidak berdamai dengan sesama. Memang dalam ibadah disimbolkan dengan orang/jemaat terdekat. Tetapi pada hakikatnya perdamaian itu adalah perdamaian yang dilakukan untuk semua orang (dan bukankah juga orang yang terdekat; suami, istri, anak, orang tua, mertua, menantu, dan lain-lain, yang justru seringkali kesalahannya atau kesalahan kita dipendam). Jadi tindakan bersalaman bukan sekadar seremonial (ada dalam liturgi) tetapi tindakan untuk menyatakan perdamaian di antara umat yang sudah diampuni oleh Allah.

Pujian Setelah Berita Anugerah 
Pujian setelah berita anugerah tentulah merupakan pujian yang menyatakan syukur sudah diampuni dan sudah berdamai dengan sesama dan merupakan tekad dan kesiapan menerima Firman yang akan disampaikan, dan melakukannya dalam hidupnya setiap hari.

Pemberitaan Firman 

Topik ini sebaiknya dibagi dalam beberapa bagian. Di bagian pertama ini kita membahas dari doa sampai dengan saat hening; artinya pembahasan kita adalah dari:

  1. Doa,
  2. Pembacaan Alkitab, 
  3. Khotbah dan 
  4. Saat hening. 


Doa 
Sebelum pembacaan Firman Tuhan, maka pelayan Firman akan menaikkan doa. Pernah ada yang bertanya: “Mengapa perlu berdoa? Kok di tempat yang lain (maksudnya ketika berita anugerah, dll.) tidak berdoa?” Doa di bagian ini adalah doa untuk memohon pimpinan Roh Kudus dalam rangka pembacaan dan penguraian Firman Tuhan (dulu sering disebut dengan doa epiklese). Mengapa? Karena Firman yang kudus sedang dibacakan, sehingga jangan sampai umat salah membacanya. Pelayan Firman memang bertindak selaku pelayan, bukan tuan atas Firman yang diberitakan.
Inilah fungsi doa pelayanan Firman, yaitu sebagai harapan agar Tuhan sendirilah yang menyertai dan menolong pembacaan dan pemberitaan Firman.

 Pembacaan Alkitab
 Bagian-bagian dalam Alkitab merupakan Firman Tuhan yang menuntun umat-Nya dalam hidup di dunia ini. Sejak beberapa waktu yang lalu, pembacaan Alkitab di GKI memang ditentukan secara leksionaris. Pembacaan ini mengandung empat unsur:

  1. Kitab Perjanjian Lama kecuali Mazmur 
  2. Mazmur 
  3. Surat-Surat (Perjanjian Baru)
  4.  Injil 
Mengapa keempatnya dibaca? Tentu hal ini memerlukan uraian panjang, tetapi singkatnya ialah bahwa dalam rangkaian pembacaan itu terdapat dasar/landasan kehendak Tuhan atas umat-Nya yang diambil dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Apa yang dikatakan oleh Tuhan Yesus (dalam Injil) mempunyai dasar dalam Perjanjian Lama dan penerapan dalam Surat-Surat. Mazmur adalah Mazmur antar bacaan yang tidak hanya dibacakan secara bersahut-sahutan (seperti biasanya) tetapi juga bisa didaraskan atau dinyanyikan. Bacaan-bacaan ini disusun sedemikian rupa sehingga mempunyai benang merah dalam pembacaan Firman.

Khotbah
Khotbah secara singkat bisa dikatakan sebagai pemberitaan Firman Tuhan, atau uraian Firman Tuhan. Jadi khotbah tidak boleh melenceng dari Firman yang sudah dibacakan dan yang menjadi dasar/landasan pemberitaan Firman.

Saat Hening 
Saat hening bukanlah berdoa, tetapi menyarikan/merenungkan: “Apa yang sudah Tuhan firmankan hari ini?” sehingga menjadi bekal kehidupan selama sepekan dalam menjalani tantangan hidup.


Pengakuan Iman dan Doa Syafaat 

Jemaat sering kali menganggap bahwa pelayanan Firman hanya disampaikan di antara doa pelayanan Firman (doa epiklese = doa memohon pertolongan Roh Kudus dalam pembacaan dan penguraian Firman) dan saat teduh. Setelah itu?

Pemahaman Baru
 Dalam pemahaman baru, pelayanan Firman dimulai dari doa pelayanan Firman sampai doa syafaat. Mengapa? Karena liturgi pelayanan Firman tidak terbatas pada Firman yang diterima oleh jemaat saja, tetapi juga melibatkan respons jemaat atas Firman yang diberikan, yakni dengan mengaku percaya dan berdoa syafaat. Jadi Pengakuan Percaya dan Doa Syafaat tidak berdiri sendiri atau termasuk dalam Persembahan, tetapi merupakan bagian dari pelayanan Firman, karena apa yang sudah diberikan oleh Tuhan ditanggapi jemaat dengan pengakuan (Pengakuan Iman) dan permohonan (Doa Syafaat). Jemaat menyadari bahwa pertolongan hanya berasal dari Tuhan.

Pengakuan Iman 
Apakah Pengakuan Iman itu? Seperti dikatakan di atas, Pengakuan Iman merupakan respons jemaat atas Firman yang diberitakan Allah melalui pengkotbah. Bagian ini tidak dinamakan Pengakuan Iman Rasuli, karena Pengakuan Iman Rasuli hanya merupakan salah satu pengakuan iman. Respons ini bisa diucapkan atau dinyanyikan. Pengakuan Iman apa yang diucapkan? Yang biasa diucapkan adalah Pengakuan Iman Rasuli, tetapi bisa juga Pengakuan Iman lainnya. GKI sebagai gereja Calvinis (pengikut aliran Johanes Calvin, salah seorang reformator gereja), mengakui dan menetapkan tiga pengakuan iman, yakni Pengakuan Iman Rasuli, Pengakuan Iman Nicea–Konstantinopel, dan Pengakuan Iman Athanasius (lihat bagian belakang buku NKB dan Tata Gereja). Ketiga-tiganya dapat diucapkan dalam kebaktian, tetapi memang Pengakuan Iman Rasuli paling dikenal, karena lebih singkat dan mudah diingat. Selain diucapkan, pengakuan iman dapat juga dilakukan dengan pujian (misalnya KJ 280). Apakah inti Pengakuan Iman? Pengakuan Iman bersumber pada pengakuan bahwa jemaat sebagai pribadi menyatakan kepada Tuhan dan sesamanya bahwa ia memercayai Allah yang Esa, yang menyatakan diri-Nya sebagai Bapa, Anak dan Roh Kudus.

Doa Syafaat 
Doa syafaat adalah doa permohonan, namun bukan untuk diri sendiri, tetapi untuk orang lain dan dunia. Doa ini dinaikkan secara bersama-sama; bisa hanya diwakili oleh pengkotbah, oleh beberapa orang atau dengan bersahut-sahutan. Variasi dalam menaikkan doa bisa saja dilakukan. Lalu, bagaimana dengan doa “Bapa Kami”? Doa ini sebenarnya adalah doa syafaat juga. Jadi setelah doa syafaat dinaikkan, semestinya tidak lagi dinaikkan doa Bapa Kami. Mengapa? Karena kalau kedua-duanya dinaikkan, maka akan terjadi duplikasi doa. Jadi selain berbagai variasi doa, kita bisa saja hanya menaikkan doa “Bapa Kami”.

Minggu, 20 Oktober 2013

Perjumpaan Injil dan Budaya

Tulisan ini dibuat Pdt Tumpal Tobing  dari GKI Pondok Indah yang kami rasa cukup bisa mewakili pendapat GKI ttg perjumpaan Injil dan Budaya. Semoga bermanfaat.

Perjumpaan Injil dan Budaya
Tidak pernah terbersit dalam pikiran, saya akan punya kesempatan untuk berkunjung dan bahkan merasakan kehidupan selama satu malam dua hari di Pesantren “Pandanaran” Jogjakarta dalam kaitannya dengan program SITI (Study Intensive Islam) yang diadakan oleh Universitas Kristen Duta Wacana, pada bulan Juli yang lalu.
Upaya untuk mewujudkan “teologia kontekstual,” yaitu suatu pemikiran teologia yang bisa mendarat dan dipahami oleh orang yang hidup di dalam suatu budaya dan tempat tertentu, ternyata tidak hanya monopoli para teolog Kristen, namun juga terjadi pada saudara-saudara teolog Muslim. Misalnya bagaimana menjadikan teks-teks dalam Al-Quran dipahami dengan baik dalam situasi paling aktual sekarang ini dan khususnya dalam kebersamaan hidup dengan agama-agama lainnya. Kemudian bagaimana teks-teks tersebut dapat menjadi pegangan dalam menghadapi “kemerosotan” moral dan sekaligus memberikan motivasi yang kuat untuk ikut ambil bagian dalam kemajuan teknologi dan pengetahuan di era globalisasi sekarang ini.
Penerimaan yang sangat terbuka dengan dialog yang hangat dan sangat akrab tanpa perasaan curiga telah membangun persahabatan yang mengarah pada keinginan bersama untuk melakukan yang terbaik bagi keberadaan generasi muda yang saat ini sedang mengalami tantangan yang tidak gampang.
Pengalaman yang kedua dan sangat menginspirasi terjadi pada keikutsertaan saya dalam konven pendeta seluruh GKI yang diselenggarakan pada awal bulan Agustus ini. Salah satu programnya adalah melakukan kunjungan ke “Kampoeng Kidz” yaitu Education Land, tempat untuk bermain sambil belajar dengan menggunakan metode Experiental Learning yang membuat proses belajar menjadi lebih menarik dan menyenangkan bagi remaja.
Tempat ini didirikan pada tahun 2007 oleh Bapak Yulianto yang mempunyai komitmen untuk menolong dan sekaligus memberdayakan anak-anak yang tidak mampu, khususnya anak-anak yatim piatu dari berbagai daerah dan latar belakang agama. Hal yang paling menarik adalah, selain mereka (anak-anak remaja) dapat memperoleh pendidikan dan fasilitasnya dengan gratis, mereka juga harus memelihara budaya serta ketaatan mereka kepada Tuhan sesuai dengan agama masing-masing. Gagasan pluralitas–inklusif–terbuka, partisipatif dan peduli dari Pak Yulianto dan teman-temannya mengingatkan saya pada perwujudan visi dan misi GKI Pondok Indah. Apa yang dilakukan oleh Pak Yulianto sungguh didasarkan pada iman percayanya kepada Injil Tuhan Yesus Kristus.
Perjumpaan dengan dua pengalaman di atas, yang disempurnakan dengan mendengarkan uraian Pdt. Joas Adiprasetya dalam Forum Diskusi Teologia di GKI Pondok Indah tanggal 15 Agustus lalu, telah mendorong saya, pada momentum “Bulan Budaya” di GKI Pondok Indah ini, untuk mencermati kembali sejauh mana relevansi Injil dalam menghadapi “budaya modern,” khususnya dalam konteks pergumulan kehadiran Gereja di Indonesia saat ini.

Interaksi Injil dan Budaya
Apakah Injil bisa dibebaskan atau dipisahkan dari budaya? Dalam kenyataannya Injil datang bersama dengan kebudayaan barat, dan tentu saja hal ini akan sangat berpengaruh pada konteks di mana Injil itu dihadirkan. Injil selalu hadir dalam konteks sejarah manusia dan itu berarti sejak dari awal keberadaannya selalu berada dan terbungkus dalam budaya tertentu. Jejak peninggalan yang masih dapat kita saksikan sekarang adalah, pemakaian toga, jas, musik gereja dan liturgi serta organisasi gereja. Jadi jelas kehadiran Injil tidak dapat dilepaskan dari budaya barat yang meliputnya.
Ada konsep teologis yang menyatakan bahwa hubungan Injil dan Budaya seperti biji dengan kulitnya, karena itu kita hanya perlu mendapatkan bijinya dan membungkuskan dengan kulit yang baru. Konsep seperti ini ternyata tidak dapat dipahami karena gambarannya bukan seperti kulit dengan bijinya, melainkan seperti bawang bombai yang tidak punya biji, sehingga sebanyak dan sedalam apa pun dikuliti tidak akan ditemukan apapun karena di dalam kulit bawang itulah meresap semua isinya. Persis seperti Injil yang tumbuh dalam budaya tertentu, ketika dihadirkan di suatu tempat yang baru ia akan tetap berada dalam kulitnya. Yang penting sebenarnya bukanlah memisahkan Injil dari budayanya, melainkan bagaimana dapat secara kritis memberikan makna baru yang bermanfaat bagi budaya setempat, sebab budaya terus berubah secara dinamis.
Oleh karena budaya selalu berkembang, maka kita perlu terus-menerus mencermati perubahan budaya yang terjadi yang saat ini, misalnya mengarah pada budaya modern, post modern, konsumerisme, hedonisme, materialisme, pornografi dan lain-lain. Perkembangan budaya yang seperti ini tidak boleh luput dari pengamatan kita, sebab budaya dapat memberi pengaruh yang buruk tapi juga pengaruh yang baik. Tinggal bagaimana kita dapat memanfaatkan dan memberi makna yang baru dan lebih baik, makna yang bermanfaat bagi kehidupan bersama dalam masyarakat manusia.
Sebelum melanjutkan pokok bahasan kita, mari kita sejenak kembali pada pertanyaan, apa sebenarnya budaya?
Kata kebudayaan, menurut Prof. Koentjaraningrat, seorang antropolog, berasal dari kata Sansekerta: buddhayah, yaitu bentuk jamak dari kata “buddhi” atau budi yang artinya roh atau akal, dan daya, yaitu kuasa atau kekuatan, sehingga kebudayaan dapat berarti “segala sesuatu yang diciptakan oleh budi manusia.” Istilah ini bila dikawinkan dengan kata kultur, yang berasal dari kata kerja Latin colo, kolere, yang kemudian membentuk kata kerja colere, berarti: membuat, mengolah, mengerjakan, menghias, mendiami (Verkuyl, 1966: 12-13). Dari sini dapat kita simpulkan bahwa kebudayaan menjelaskan tentang segala sesuatu yang dipikirkan, diusahakan, serta dikerjakan oleh manusia dalam lingkup (konteks) hidupnya secara utuh untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan.
Dengan demikian, budaya atau kebudayaan memiliki makna yang sangat luas dan seolah tidak ada batasnya. Ia mencakup berbagai dimensi kehidupan manusia yang lahir sebagai hasil olah akal dan budi, mulai yang terkecil hingga yang terbesar; mulai dari tata cara makan hingga tata cara mengelola sebuah negara.
Ada banyak definisi mengenai kebudayaan, namun semua nampaknya mengerucut pada kesimpulan yang sama, yaitu bahwa kebudayaan adalah ciptaan manusia. Dengan demikian, tidak ada budaya tanpa manusia dan tidak ada manusia tanpa budaya. Manusia dan budaya bagaikan dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan.
Perjumpaan antara Injil dan Budaya tidak dapat dilepaskan dari upaya misi atau yang lebih dikenal dengan Pekabaran Injil. Misi sering kali dipahami sebagai usaha penginjilan dengan tujuan penambahan jumlah orang Kristen; dan dengan semangat yang eksklusif (tertutup) usaha penginjilan ini sering kali dilaksanakan tanpa mempertimbangkan konteks masyarakat Indonesia. Kenyataan Indonesia yang ditandai dengan kemiskinan yang merajalela dan keagamaan yang multi-wajah belum mendapat tempat dan perhatian dalam pemahaman dan semangat misi eksklusif yang diwarisi gereja-gereja di Indonesia. Apabila sikap dan semangat eksklusif itu tetap dipertahankan, maka misi Gereja Indonesia dapat dikatakan sedang dalam keadaan krisis, paling tidak krisis dalam pemahaman yang pada gilirannya sangat memengaruhi pelaksanaan misi Gereja.
Bagaimana perjumpaan Injil dan Budaya dalam Alkitab?

Belajar dari Kisah Para Rasul
Perjumpaan Injil dengan budaya lain mengarah pada suatu pembentukan identitas. Petrus, yang pada mulanya bertolak hanya di sekitar Yerusalem, Yudea dan Samaria sebenarnya masih berada dalam masyarakat Yahudi. Ketika Injil berjumpa dengan tradisi Yahudi ini, tidak ada masalah karena masyarakat dan pembawa berita Injil itu sama-sama berlatar belakang Yahudi yang menjalankan kebiasaan-kebiasaan menyangkut makanan haram, hari Sabat, peraturan sunat dan lainnya.
Namun ketika Petrus mulai mengunjungi wilayah pantai yang berkebudayaan Yunani-Romawi, tindakan Petrus ini ternyata membawa dampak yang luar biasa pada cara melaksanakan pemberitaan Injil.
Pelan-pelan menjadi jelas bahwa kekristenan harus menetapkan tradisi baru yang berlainan dengan tradisi Yahudi. Hal inilah yang menimbulkan bentrokan dengan para pemuka agama Yahudi, imam-imam kepala dan kaum Saduki. Dalam pandangan mereka, para penganut kristiani awal dinilai menyeleweng dari tradisi. Dan penyelewengan seperti itu, menurut hukum tidak bisa ditoleransi karena menggoyahkan keutuhan dan kesatuan budaya. Oleh karena itu mudah dipahami kalau orang-orang Kristen pertama itu dikejar-kejar, ditangkap dan dipenjara –dari antara mereka banyak juga yang dibunuh–pertama-tama oleh otoritas agama Yahudi.
Pertemuan dengan alam pikiran Hellenis (budaya Yunani) telah memberikan corak yang baru dalam perkembangan Injil.
Kornelius adalah seorang perwira yang mewakili kekuasaan Romawi, “Ia saleh, takut akan Allah, memberi banyak sedekah kepada umat Yahudi, dan senantiasa berdoa kepada Allah” (Kisah Rasul 10:2, 22). Ia mewakili sekelompok besar orang non-Yahudi yang tertarik kepada paham Yahudi mengenai Allah yang Esa, yang tak terbayangkan dan yang menuntut hidup bermoral tinggi. Tetapi, mereka tidak ingin menjadi bagian dari orang Yahudi karena tidak mau menerima sunat.
Petrus mengalami kebingungan ketika harus melakukan pendekatan dengan perwira Romawi ini hingga ia mendapatkan vision, yakni tentang sebuah taplak yang turun dari surga dan penuh dengan binatang yang haram, disertai ajakan untuk makan hidangan tersebut. Petrus baru mau menerima kehadiran Kornelius setelah tiga kali menerima vision itu dan ia pun menjelaskan tentang kemustahilan seorang Yahudi bergaul dengan orang non-Yahudi, apalagi masuk rumah mereka (10:28). Apabila seorang Yahudi memasuki rumah orang yang tidak memenuhi tuntutan ritual, apalagi makan dengan mereka, maka menurut tradisi atau paham Farisi, ia telah kehilangan kesuciannya dan hanya dapat dipulihkan lewat upacara pentahiran.
Melalui peristiwa ini, Petrus mendapat pencerahan bahwa ia tidak boleh menyebut orang lain yang non-Yahudi sebagai najis atau tidak tahir. Paradigma Petrus mengalami perubahan total. Sebagai umat Allah ia tidak boleh membeda-bedakan manusia yang satu dengan yang lain, semua punya hak yang sama untuk mendapat perhatian dan kepedulian.
Pesan dari kita di atas sangat penting dan relevan dalam konteks Indonesia yang hidup dalam keberagaman keagamaan. Dalam perjumpaan ini, pertama, Petrus menyadari bahwa kasih Allah berlaku bagi semua umat manusia yang mencari Dia dengan segenap hati. Jadi jelas bagi kita sekarang, perjumpaan dengan orang-orang yang memiliki agama dan kebudayaan lain akan mengubah paham kita akan Injil. Kedua, mau menerima keberadaan orang yang berbeda kebudayaan.
Ketiga, perlu keberanian untuk melakukan peruntuhan tembok-tembok pemisah sekaligus menciptakan keterbukaan dan kerelaan dari ke dua belah pihak untuk melakukan dialog antar agama yang mengarah pada persahabatan dan kerja sama menyelesaikan permasalahan yang terjadi di sekitarnya.
Setiap manusia dalam kehidupannya tidak dapat terlepas dari budaya yang telah membentuknya, oleh karena itu bila ada seseorang yang disentuh oleh Injil, maka dalam hidup budayanya, adat istiadatnya akan tetap bersamanya. Injil dalam kuasa pembebasannya tidak mengubah seseorang menjadi orang asing dari budayanya.
Kebudayaan adalah pola hidup manusia dalam kelompok, jadi kebudayaan itu dihayati dan diamalkan dalam hubungan dengan sesama anggota kelompok atau komunitas. Iman sebagai relasi yang lebih berdimensi vertikal, dihayati dan diamalkan dalam dimensi horizontal. Sebaliknya kebudayaan yang lebih berdimensi horizontal, tidak dapat dilepaskan dari dimensi vertikal. Bahkan iman dapat diinterpretasikan sebagai sumber dan dasar kebudayaan, sedangkan kebudayaan itu sering diidentikkan dengan agama yang berdimensi vertikal.
Injil dan budaya sangat penting karena sama-sama mengklaim kewibawaan atas seluruh kenyataan, jadi tidak ada domain wilayah yang terpisah-pisah, karena seluruh kenyataan adalah seluruh wilayah kebudayaan. Budaya pada hakikatnya bicara tentang seluruh hidup manusia. Semua disentuh oleh agama dan budaya, mulai dari pakaian, makanan, musik, bacaan, film, istri, suami, anak, olahraga, ekonomi, politik, teknik dan lain lain.
Karena budaya menyangkut seluruh hidup manusia, maka sering kali terjadi gesek-menggesek antara budaya dan agama, yang bertambah kompleks lagi karena agama sendiri juga memiliki budayanya.
Seorang Batak yang Kristen misalnya, akan selalu mempunyai dua identitas itu di dalam dirinya dan keduanya haruslah terintegrasi, artinya seorang Batak adalah sungguh seorang Batak ketika ia melakukan habitus yang lengkap dilakukan oleh orang Batak dengan segala simbol-simbol yang dipahami dalam tradisi Batak, jadi tidak ada Batak minus tradisi atau kebiasaan tertentu.
Karena itu integrasi dalam budaya dan integrasi dalam kekristenan menjadi sangat penting, sehingga seluruh komponen perlu dipertahankan. Injil dari awal selalu mengajarkan orang untuk kreatif, demikian juga iman Kristen perlu selalu kreatif dalam perkembangannya. Kreativitas ini akan menjadikan orang Kristen berani memahami budayanya secara baru dari sudut pandang iman.
Misalnya pada masa Natal, pohon Natal adalah tradisi penyembahan berhala dewa matahari yang dirayakan setiap tanggal 25 Desember, tapi kemudian mendapat makna yang baru, sehingga orang Kristen tidak merayakan kelahiran dewa matahari, melainkan kelahiran Yesus. Pada saat hal ini terjadi, orang tidak merasa gelisah, sebaliknya dapat menghayati dengan khusyuk tentang kelahiran Yesus yang sangat romantis sambil merenungkan pentingnya makna ini bagi kehidupan kristiani. Inilah kreativitas iman, panggilan kita adalah menafsir ulang budaya dalam terang iman Kristen. Inilah yang dilakukan ompui Nomensen. Ia tidak langsung melakukan penginjilan, melainkan memberikan makna baru pada tradisi Batak dalam perjumpaannya dengan Injil Yesus Kristus.
Bagaimana orang Kristen memahami perjumpaan Injil dengan Budaya dalam Alkitab dan memberi makna baru dalam situasi kita saat sekarang ini? Yang ekstrim adalah seperti munculnya Jeferson Bible, yaitu Alkitab yang tipis karena semua isi yang dianggap negatif seperti ayat atau perikop yang rasialis, mengandung hal perbudakan dan bertentangan dengan hak asasi manusia, dihapuskan. Cara kedua adalah dengan menafsirkan teks itu secara baru dan bukan hanya yang tersurat, kemudian berusaha menemukan prinsip yang tersirat di balik teks itu. Berdasarkan hal ini maka dilakukan penafsiran baru dari teks-teks yang sudah tidak lagi dapat diberlakukan sekarang ini. Hal ini dilakukan oleh GKI, karena itu GKI mempunyai ajaran yang berkembang terus dan selalu aktual mencoba menanggapi perubahan yang terjadi dalam Budaya, misalnya GKI dengan konsekuen menekankan equality (kesamaan peran pria dan wanita).

Contoh konkret dari Perjanjian Lama
Kej. 2:18 TUHAN Allah berfirman: “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.”
Kej. 2:21 Lalu TUHAN Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, TUHAN Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging.
Kita harus memahami dengan baik bahwa penulis Alkitab dengan latar belakang budaya tertentu, diberi kebebasan untuk mengekspresikan tulisannya. Misalnya penulis kitab Kejadian berlatar belakang budaya patriarkat (budaya di mana lelaki mempunyai kedudukan lebih tinggi dari perempuan). Dalam tulisannya pasti ia lebih menonjolkan lelaki. Misalnya sosok perempuan digambarkan berasal dari salah satu rusuk lelaki (Kejadian 2:21), dengan demikian keberadaan perempuan lebih rendah dari lelaki. Padahal dalam Kejadian 2:18, perempuan diciptakan Tuhan untuk menjadi penolong yang sepadan.
Dalam konteks saat sekarang ini, pemikiran yang membedakan posisi lelaki dan perempuan tidak lagi dapat diterima, karena itu para penafsir mempelajari kembali teks Alkitab untuk menemukan makna baru yang relevan untuk kondisi saat ini. Maka ditemukanlah bahwa ternyata dalam bahasa Ibrani, kata “penolong” adalah “asyer.” Dalam Alkitab, kata asyer hanya dipakai oleh Allah. Jadi untuk menggambarkan manusia yang menolong manusia lain, tidak dipakai kata ini. Yang kedua, inilah satu-satunya pengecualian dalam teks yang dikenakan pada perempuan. Jadi perempuan sebagai penolong adalah representasi dari Allah yang akan menjadi penolong manusia, laki-laki itu. Dengan penafsiran seperti ini posisi wanita menjadi di atas lelaki atau paling tidak sama.

Resistensi dan Penerimaan
Ada dua sikap yang ekstrim terhadap Budaya yaitu Resistensi dan Penerimaan.
Resistensi adalah sikap yang sama sekali menolak budaya. Semua patung, pakaian adat, ulos, artefak kuno, adat beserta simbol-simbolnya tidak boleh ada di Gereja maupun di rumah orang Kristen. Sikap seperti itu ada baiknya, karena selalu waspada terhadap budaya-budaya yang dapat merusak, seperti budaya menindas perempuan, budaya penghamburan uang untuk suatu pesta adat sampai harus berutang. Tapi di pihak lain, penolakan total ini juga merugikan penginjilan, sebab budaya sering kali menjadi jalan masuk dan jembatan yang paling baik untuk memperkenalkan Injil kepada semua orang.
Penerimaan adalah sikap menerima semua budaya, dan dengan mudah berkata bahwa kebudayaan adalah produk luhur kemanusiaan. Sikap seperti ini juga membahayakan, karena tanpa sikap kritis, orang terlalu mudah mengompromikan Injil dengan Budaya, sehingga berita Injil sering kali menjadi kabur.

Sikap yang baik adalah
1.     Kita harus mempelajari sehingga mempunyai pemahaman yang mendalam tentang kebudayaan kita, jangan semena-mena menolak begitu saja.
2.     Kita harus mempelajari sehingga mempunyai pemahaman yang benar dan mendalam tentang Injil. Dengan demikian akan dihasilkan penafsiran ulang yang relevan dengan perubahan Budaya lokal.
3.     Kita harus menerima Budaya dengan cara yang luhur, tapi juga sekaligus mengkritisinya dengan sungguh-sungguh karena kebudayaan pada satu sisi adalah ciptaan Tuhan, karena teologi penciptaan adalah teologi kebudayaan. Budaya adalah karya agung Allah yang harus dipelihara dengan baik sehingga tidak ada lagi pandangan dualistik antara yang sakral dan yang duniawi, semuanya telah melebur menjadi satu.Namun demikian, Budaya tetap harus diwaspadai karena dosa telah merusak, bukan hanya manusia secara personal, namun juga struktur sosial dan kultural yang dibangun manusia. Karena itu Budaya dalam kehidupan manusia dapat berdampak positif tapi juga negatif. (bdk. Joas Adiprasetya–Injil dan Kebudayaan–pada Forum Diskusi Teologi, 15 Agustus 2011, GKI Pondok Indah/di rubrik Teropong Kasut edisi 80/http://gkipi.org/injil-dan-kebudayaan-konflik-kompromi-atau-kolaborasi/)

Perjumpaan Injil dan Budaya dalam perkembangannya memerlukan perhatian yang serius karena menyangkut kehidupan, khususnya generasi muda yaitu bagaimana mereka sanggup mencermati dan sekaligus mengkritisi perjumpaan yang sangat memengaruhi kehidupan aktual saat ini.
Kembali pada awal tulisan di atas, perjumpaan antara Injil dan Budaya atau Agama dan Budaya, ternyata menjadi pergumulan dari setiap orang beragama dalam upaya mendapatkan isi yang relevan untuk memecahkan permasalahan yang muncul dan terus berkembang.
Sebagai kesimpulan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam relevansinya terhadap situasi di Indonesia, yaitu:
1.     Perlu diupayakan untuk mencari dasar pemikiran yang sama di antara agama-agama yang mengarah kepada suatu kerja sama guna menyelesaikan permasalahan bangsa yang sedang dihadapi bersama.
2.     Menghilangkan sikap saling curiga-mencurigai, sehingga dapat diadakan dialog persahabatan yang terbuka satu sama lain.
3.     Memberi makna baru terhadap perkembangan Budaya dengan memahami Budaya itu sebaik-baiknya, kemudian melakukan penafsiran ulang terhadap pemikiran teologis yang tidak relevan lagi.
4.     Melakukan “dialog kehidupan,” suatu dialog yang bertujuan untuk saling mengenal dan mengarah pada persahabatan, dan berdasarkan pada keterbukaan satu sama lain, tanpa sikap saling curiga.

Pdt. Tumpal Tobing