Total Tayangan Halaman

Kamis, 24 Oktober 2013

MENGUBAH DERITA MENJADI BAHAGIA

 MENGUBAH DERITA MENJADI BAHAGIA Oleh: Pdt. Yohanes Bambang Mulyono

Derita: Rahmat Atau Kutuk 


Siapakah di antara kita yang mengalami penderitaan, namun tetap mampu mengucap syukur? Siapakah di antara kita yang mengalami suatu rasa sakit, namun tetap dihayati sebagai suatu rahmat? Ataukah penderitaan yang kita alami membuat kita menjadi marah, kesal dan kecewa kepada Tuhan? Sebab kita menganggap bahwa rasa sakit yang kita alami hanyalah suatu kutuk. Penderitaan sebagai suatu rahmat ataukah suatu kutuk memang tergantung dari kasus dan latar-belakangnya. Dalam hal ini kita tidak boleh untuk menggeneralisir setiap penderitaan sebagai suatu rahmat, dan di lain pihak kita juga tidak boleh menganggap setiap penderitaan sebagai suatu kutuk. Rasul Petrus menyampaikan nasihatnya sebagai berikut: “Janganlah ada di antara kamu yang harus menderita sebagai pembunuh atau pencuri atau penjahat, atau pengacau. Tetapi, jika ia menderita sebagai orang Kristen, maka janganlah ia malu, melainkan hendaklah ia memuliakan Allah dalam nama Kristus itu” (I Petr. 4:15-16).

Kita harus kritis agar tidak membuka suatu pandangan yang salah seakan-akan semua penderitaan yang kita alami sebagai suatu rahmat dari Tuhan. Karena tidak jarang penderitaan yang kita alami sebagai akibat dari kesalahan, kecerobohan dan sikap kita yang takabur serta sikap yang tidak bijaksana. Sehingga sangatlah penting bagi kita untuk memahami suatu kasus penderitaan secara holistik. Kita perlu menganalisa kasus penderitaan tersebut secara lebih rasional dan seobyektif mungkin sehingga kita dapat menemukan penyebab utama dari penderitaan tersebut dan mencari solusi yang tepat sesuai dengan latar-belakang dari kasus penderitaan tersebut. Namun terlepas dari latar-belakang kasus penderitaan yang sedang kita alami. Sebenarnya penderitaan atau rasa sakit merupakan rahmat. Seandainya kita tidak dapat mengalami rasa sakit atau penderitaan, justru kita sedang berada dalam suatu bahaya besar. Sebagai contoh, apabila seseorang terkena penyakit lepra atau kusta maka dia tidak akan pernah merasa sakit ketika beberapa bagian dari jari-jarinya terluka dan putus. Sebagaimana diketahui bahwa penyakit lepra terjadi karena suatu bakteri yang bernama Mycobacterium leprae.

Pengembangbiakan bakteri tersebut merusak syaraf-syafat perasa dari kulit tubuh sehingga penderita seperti dalam keadaan dibius (anasthesi), sehingga dia tidak pernah merasa sakit ketika tangan atau kakinya terluka parah. Itu sebabnya penderita juga tidak akan pernah merasa sakit dan mungkin dia tidak tahu, ketika beberapa jari tangan atau kakinya telah terlepas. Dengan perkataan lain, rasa sakit sangat diperlukan sehingga kita dapat menjaga setiap anggota tubuh atau jiwa kita dari sesuatu yang membahayakan diri kita. Jadi rasa sakit atau penderitaan pada hakikatnya merupakan suatu rahmat. Apapun latar-belakang dan kasus dari rasa sakit atau penderitaan yang kita alami, kita wajib untuk mengucap syukur bahwa kita dapat merasakan rasa sakit atau penderitaan itu sehingga kita dapat menjaga, merawat dan memelihara tubuh kita secara benar dan bertanggungjawab. Rasa sakit atau penderitaan dapat berfungsi memberi motivasi atau mendorong kita untuk memperbaiki sesuatu yang salah dan memulihkan kembali sesuatu yang telah rusak.

Derita Sebagai Tanda Kefanaan Kita

Saat kita pertama kali lahir di atas muka bumi ini, kita telah mengenal rasa sakit. Seorang bayi menangis ketika dia keluar dari rahim ibunya karena dia sangat terkejut mendengar berbagai macam suara yang saat itu begitu dahsyat dan merasakan sesuatu yang begitu asing yang jauh dari rasa aman seperti ketika dia masih berada dalam rahim ibunya. Setelah dia tumbuh dari bulan ke bulan dia akan mengalami berbagai penderitaan seperti rasa lapar, haus, silau dan takut. Demikian realita penderitaan terus mengiringi perjalanan manusia bahkan sampai menjelang dia ajal. Itu sebabnya rasa sakit dan penderitaan pada hakikatnya merupakan satu bagian dengan kehidupan kita, dan juga menjadi satu paket dari proses kematian kita.

Melalui penderitaan yang kita alami, makin menyadarkan kita bahwa hidup manusia sangatlah fana dan serba terbatas. Kehidupan manusia yang sementara ini akan dilalui bersama rasa sakit dalam berbagai bentuk, sehingga kita makin disadarkan untuk perlu bersandar kepada Tuhan. Ketika rasa sakit atau derita kita diintegrasikan dengan sikap iman kepada Tuhan, maka kita dimampukan untuk memaknai penderitaan sebagai sesuatu yang melampui seluruh kefanaan dan keterbatasan kita. Jadi pengalaman penderitaan yang kita alami pada satu pihak dapat menyadarkan kita akan kefanaan hidup di dunia ini, sekaligus melalui penderitaan yang kita alami itu dapat membuka suatu perspektif dan dimensi baru untuk percaya akan penyertaan Allah di dalam kehidupan yang kekal.

Pada umumnya ketika kita merasa sehat, kuat, berhasil dan tanpa persoalan; kita sering hanya melihat realita kehidupan ini dari sudut permukaannya belaka. Itu sebabnya manusia sering bersikap takabur dan sombong ketika dia sehat, kuat, kaya dan menduduki posisi yang penting. Pada saat itu kita tidak melihat sedikitpun realita kehidupan bersifat fana dan terbatas. Tetapi ketika kita sakit dan menderita dalam kurun yang cukup lama, kita mulai menyadari secara eksistensial bahwa kita sedang berhadapan dengan situasi “batas akhir”. Dalam hal ini kita kemudian memberikan berbagai respon terhadap situasi penderitaan atau rasa sakit yang sedang kita hadapi.

Respon Dalam Penderitaan

Ketika kita mengalami rasa sakit dan derita yang sangat berat, kita dapat merespon dalam berbagai bentuk seperti: berkeluh-kesah, kecewa, marah, sedih, gelisah dan putus-asa. Respon tersebut sangatlah alamiah dan manusiawi. Namun respon tersebut perlu dilihat secara kritis, yaitu bagaimana akhir dari pergumulan dia dalam menghadapi rasa sakit dan deritanya? Apakah seluruh respon tersebut pada akhirnya tetap berujung pada tindakan iman ataukah tindakan di luar iman? Apabila respon dari pergumulan seseorang menghadapi rasa sakit dan penderitaan akhirnya bermuara pada tindakan di luar iman (tanpa sikap iman), maka sesungguhnya dia tidak pernah menemukan makna yang berarti dari penderitaannya. Sebab dengan tindakan di luar iman, seseorang yang menderita akan cenderung mengkristalisasi berbagai keluhan, kekecewaan, kemarahan, kesedihan, kegelishan dan keputus-asaannya semakin kuat. Sebaliknya ketika kita menyikapi penderitaan dengan sikap iman, maka penderitaan yang kita alami dapat diubah menjadi sesuatu yang bermakna.

Seseorang dapat menyikapi penderitaannya dengan sikap di luar iman (tanpa iman), karena dia menganggap bahwa dalam pengalamannya selama dia menderita, dia tidak menemukan kehadiran dan pertolongan Allah. Dia merasa diabaikan, tidak dipedulikan, doa-doanya tidak didengar oleh Tuhan; sehingga dia merasa hidup sendiri dan tak sanggup untuk menanggung seluruh derita yang kini dia alami. Karena itu dia menjadi putus-asa dan kecewa kepada Tuhan, sehingga dia memutuskan untuk berpaling meninggalkan Tuhan. Jadi di balik rasa putus-asa dan kecewa, sebenarnya dia sedang marah kepada Tuhan. Itu sebabnya dia menyikapi keadaan penderitaan yang dialami dengan sikap yang negatif, terluka dan destruktif. Rasa kecewa dan putus-asanya makin menjadi-jadi, sebab dia merasa Tuhan tidak menjawab doa-doanya dan menyembuhkan dia. Dalam hal ini mungkin semula dia sangat percaya bahwa Allah mahakuasa, sehingga Allah mampu melakukan segala perkara termasuk untuk menyembuhkan seluruh penyakitnya. Tetapi kini ketika dia sakit dan menderita, ternyata Tuhan tidak memberi kesembuhan atau pertolongan yang diharapkan dan memulihkan segala penyakitnya.



Namun sebaliknya juga dapat terjadi ketika kita mengalami penderitaan yang sangat berat. Semula kita berdoa agar Tuhan menyembuhkan dan memulihkan kita dari segala penyakit kita. Bahkan kita sungguh-sungguh berdoa tiada jemu agar Tuhan berkenan mengangkat seluruh penyakit kita, sehingga kita berjanji untuk melayani Allah dengan segenap hati dan waktu kita. Tetapi ternyata penyakit kita tidak tersembuhkan, bahkan kini kita makin berada dalam situasi yang gawat. Pada saat yang demikian, kita kemudian teringat doa Tuhan Yesus di taman Getsemani yang berkata: “Ya BapaKu, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari padaKu, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki” (Mat. 26:39). Dalam doa Tuhan Yesus tersebut jelas bahwa Tuhan Yesus menyampaikan permohonan kepada BapaNya agar Dia dibebaskan dari penderitaan maut yang akan dialamiNya. Tetapi pada akhir doaNya Tuhan Yesus justru tidak memaksakan kehendakNya, tetapi Dia kini sungguh-sungguh menyerahkan secara penuh kepada kehendak Allah. Ini berarti Tuhan Yesus pada akhir doaNya telah mampu menerima keputusan dari Allah untuk menghadapi kematian di atas kayu salib. Demikian pula dalam menghadapi penderitaan yang kita alami, respon kita seharusnya meneladani sikap Tuhan Yesus. Oleh kuasa anugerahNya kita dimampukan oleh Tuhan untuk menerima penyakit yang tidak tersembuhkan. Jadi kita dapat menyikapi penderitaan dengan sikap iman bukan karena penyakit kita harus selalu disembuhkan oleh Tuhan, tetapi kita diberi kemampuan oleh Tuhan untuk menerima dengan tulus penyakit kita yang tidak tersembuhkan sehingga sampai akhir hidup kita tetap mampu bergembira dan mengucap syukur kepadaNya.

Menemukan Makna Hidup Di Balik Penderitaan 

Penderitaan dapat menjadi sumber rahmat dan berkat Allah ketika penderitaan dan sakit kita yang tidak tersembuhkan dapat kita terima dengan tulus dan penuh percaya kepada Tuhan. Dengan sikap demikian kita dapat menemukan makna di balik setiap penderitaan yang sedang kita alami. Kita makin terbuka untuk melihat dimensi-dimensi rohaniah secara lebih eksistensial, sehingga kita secara spiritual dapat mengalami proses pertumbuhan yang mengagumkan. Di II Kor. 4:16-17 rasul Paulus mengungkapkan kesaksiannya, yaitu: “Sebab itu kami tidak tawar hati, tetapi meskipun manusia lahiriah kami semakin merosot, namun manusia batiniah kami dibaharui dari sehari ke sehari. Sebab penderitaan ringan yang sekarang ini, mengerjakan bagi kami kemuliaan kekal yang melebihi segala-galanya, jauh lebih besar dari pada penderitaan kami”. Dari kesaksian rasul Paulus tersebut kita dapat melihat bahwa secara lahiriah atau jasmaniah rasul Paulus mengalami kemerosotan. Dia makin menjadi tua, lemah, sakit-sakitan dan terbatas daya jangkauannya. Tetapi kemerosotan lahiriah tersebut tidak berarti dia harus mengalami kemerosotan rohani. Sebaliknya dengan sikap iman dan kesetiaannya kepada Tuhan Yesus, rasul Paulus justru mengalami proses pertumbuhan kualitatif dari manusia batiniahnya. Walaupun rasul Paulus dari hari ke hari tubuh fisiknya makin lemah, tetapi dia dapat mengalami proses pembaharuan rohaniah yang makin murni; sehingga dia menganggap penderitaannya pada masa sekarang hanyalah suatu hal yang ringan dibandingkan dengan kemuliaan kekal yang kelak akan diterimanya.

Justru seringkali yang terjadi dalam realita hidup adalah kita mengalami proses kemerosotan secara lahiriah tetapi juga pada saat yang sama kita mengalami proses kemerosotan secara rohaniah. Sehingga dalam situasi yang demikian, penderitaan sekarang yang kita alami terasa begitu dahsyat dan mengerikan karena kita tidak mampu untuk melampaui penderitaan atau rasa sakit kita. Dalam hal ini kita terjebak dalam keterbatasan insane, dan tidak mampu mentransendensikan diri kepada sesuatu yang mulia dan kekal. Realita “batas akhir” hanyalah sebatas keberadaan tubuh fisik kita yang makin melemah, tanpa daya dan tidak tersembuhkan. Sebaliknya sikap iman kepada Tuhan akan memampukan kita untuk melampaui atau mentransendensikan yang serba kelihatan dan terbatas itu yaitu tubuh fisik kita, sehingga kita juga mampu melampaui “batas akhir” dari situasi kefanaan kita. Itu sebabnya rasul Paulus berkata: “Sebab kami tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tak kelihatan, karena yang kelihatan adalah sementara, sedangkan yang tak kelihatan adalah kekal” (II Kor. 4:18). Jadi makna hidup ditemukan oleh rasul Paulus justru ketika dia berada di dalam kelemahan dan kemerosotan tubuhnya. Dengan sikap imannya rasul Paulus tidak lagi memperhatikan yang serba kelihatan yaitu tubuh fisiknya yang makin melemah atau keadaan manusiawinya, tetapi dia dengan sikap imannya berhasil melampui penderitaannya; sehingga dia semakin jeli dan jernih melihat kenyataan-kenyataan yang tidak kelihatan yaitu janji keselamatan dan berkat Allah yang tidak dapat diberikan oleh dunia ini.

Melalui Penderitaan Kristus, Allah Hadir Dalam Penderitaan Kita 

Dalam buku yang ditulis oleh Andrew Sung Park yang berjudul “The Wounded Heart of God”, Sung Park mengungkapkan bahwa dosa-dosa yang diperbuat oleh manusia telah melukai hati Allah dan sesamanya. Luka itu oleh Sung Park disebut dengan istilah “han”. Maksud dari pengertian “han” adalah suatu penderitaan yang diakibatkan oleh dosa. Sebagaimana dipahami bahwa dosa diperbuat oleh orang yang bersalah, tetapi “han” senantiasa dialami oleh pihak korban. Jadi luka Allah di dalam peristiwa salib yang dialami oleh Tuhan Yesus pada hakikatnya telah menempatkan Allah sebagai pihak korban. Dengan demikian dalam pemahaman dan pengalaman “han” telah menjadi titik temu atau perjumpaan antara Allah dengan manusia yang menderita. Dalam peristiwa salib, pada hakikatnya Allah telah mengalami penderitaan manusia, dan manusia menyaksikan penderitaan Allah.

Pandangan yang serupa juga dikemukakan oleh Kazoh Kitamori. Dalam bukunya yang berjudul “Kami No Itami No Shingaku”: Theology of the Pain of God, Kitamori menegaskan bahwa pusat dari Injil adalah penderitaan Allah. Sedang penderitaan itu pada hakikatnya menunjuk kepada hati Allah dan hakikatNya. Karena itu melalui penderitaan manusia dipakai oleh Allah sebagai simbol dari penderitaanNya sendiri. Melalui penderitaan manusia, Allah ikut menderita. Itu sebabnya Kristus menderita dan wafat bagi kita, agar melalui penderitaan dan kematian Kristus, penderitaan yang dialami oleh manusia ditempatkan di jantung hati Allah. Sehingga Allah di dalam Kristus dapat merasakan setiap penderitaan yang dialami oleh umatNya. Realita penderitaan kini tidak harus menempatkan manusia terpisah, terasing dan terbuang dari hadapan Allah. Sebab Allah di dalam Kristus menjadi sangat dekat dengan setiap orang yang menderita.

Di II Kor. 4:8-9 rasul Paulus menyaksikan bagaimana kuasa Kristus bekerja dan memampukan dia dalam menghadapi penderitaan, yaitu: “Dalam segala hal kami ditindas, namun tidak terjepit; kami habis akal, namun tidak putus asa; kami dianiaya, namun tidak ditinggalkan sendirian, kami dihempaskan, namun tidak binasa”. Kekuatan untuk menanggung semua penderitaan tersebut bukan hanya karena Kristus memberi daya tahan yang luar biasa kepada rasul Paulus, tetapi juga karena rasul Paulus menyadari bahwa dia membawa “kematian” Kristus di dalam tubuhnya. Penderitaan yang dialaminya, dia yakini sebagai suatu penderitaan yang dialami oleh Kristus. Itu sebabnya rasul Paulus berkata: “Kami senantiasa membawa kematian Yesus di dalam tubuh kami, supaya kehidupan Yesus juga menjadi nyata di dalam tubuh kami”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar